KPK Tak Segan Jerat Korporasi di Kasus Ekspor Benur Edhy Prabowo

Jakarta (VLF) –  KPK tengah berfokus pada pembuktian unsur pasal yang dipersangkakan ke Edhy Prabowo dkk, tersangka dugaan suap ekspor benih lobster atau benur. KPK menyatakan tak akan segan-segan menjerat korporasi yang diduga terlibat dalam kasus dugaan suap ekspor benur ini.

“Untuk saat ini KPK fokus pada pembuktian unsur-unsur pasal yang dipersangkakan atas diri 7 tersangka tersebut,” Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (2/12/2020).

Ali mengatakan KPK akan segera memanggil sejumlah saksi untuk diperiksa dalam perkara tersebut. Setelah memeriksa saksi, KPK tentu akan melakukan analisis lebih jauh lagi.

“Jika kemudian ditemukan ada bukti permulaan yang cukup, KPK tidak segan untuk menetapkan pihak-pihak lain sebagai tersangka dalam perkara ini, termasuk tentu jika ada dugaan keterlibatan pihak korporasi,” katanya.

“Termasuk pula tentu akan dilakukan analisa terhadap peluang kemungkinan penerapan pasal TPPU,” sambungnya.

Edhy Prabowo, yang merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait ekspor benur. Selain Edhy Prabowo, KPK menetapkan enam tersangka lain, termasuk Direktur PT DPP (Dua Putra Perkasa) Suharjito (SJT) sebagai tersangka pemberi suap.

“Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (25/11).

Kasus bermula setelah Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budi Daya Lobster. Andreau Pribadi Misata (APM) selaku staf khusus menteri ditunjuk sebagai ketua pelaksana. Sedangkan Safri (SAF), yang juga staf khusus menteri, menjabat wakil ketua pelaksana.

“Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur,” ujar Nawawi.

Selanjutnya, pada awal Oktober 2020, Suharjito menyambangi kantor KKP dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan itu, diketahui bahwa ekspor benur hanya dapat dilakukan melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.

PT DPP diduga mentransfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total Rp 731.573.564.

“Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri atas AMR dan ABT, yang diduga merupakan nomine dari pihak EP serta YSA. Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR dan ABT masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar,” ujar Nawawi.

Pada 5 November 2020, Ahmad Bahtiar diduga mentransfer uang ke salah satu rekening atas nama Ainul Faqih selaku staf istri Menteri Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi, senilai Rp 3,4 M. Uang tersebut diduga diperuntukkan buat keperluan Edhy Prabowo, Iis Rosyati, Safri, dan Andreau Pribadi dengan rincian sebagai berikut:

1. Penggunaan belanja oleh Edhy Prabowo dan Iis Rosyati pada 21-23 November sekitar Rp 750 juta berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV serta baju Old Navy.
2. Uang dalam bentuk USD 100 ribu dari Suharjito yang diterima Safri dan Amiril Mukminin.
3. Safri dan Andreau menerima uang sebesar Rp 436 juta.

( Sumber : KPK Tak Segan Jerat Korporasi di Kasus Ekspor Benur Edhy Prabowo )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *