Category: Global

Eks Irjen Kemendes Divonis 1,5 Tahun Bui Kasus Suap Auditor BPK

Jakarta (VLF) – Mantan Irjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito, divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta serta subsider 2 bulan. Sugito terbukti bersalah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli Rp 240 juta.

“Menyatakan terdakwa Sugito dan Jarot Budi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar hakim ketua Diah membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017)

Selain itu, mantan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Inspektorat Kemendes, Jarot Budi Prabowo divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 75 juta serta subsider 2 bulan. Jarot Budi disebut hakim menyerahkan uang ke auditor BPK.

Dalam pertimbangan, hakim menyatakan Ali Sadli mengakui menerima uang Rp 200 juta dari Jarot Budi. Hal itu terbukti dalam kamera CCTV disebut hakim Jarot yang mengenakan tas berwarna hitam bertemu Ali Sadli di Kantor BPK pada 10 Mei 2017.

Pada 26 Mei, Jarot disebut juga bertemu kembali dengan Ali Sadli dengan membawa uang Rp 40 juta.

“10 Mei Sugito telah menyerahkan uang Rp 200 juta ke Jarot. Jarot membawa uang Rp 200 juta ke Ali Sadli, dan lalu Ali Sadli memerintah Choirul Anam menyerahkan uang ke ruang kerja Rochmadi. Hal itu dibuktikan dalam kamera CCTV dan diterangkan Ali Sadli serta diakui Jarot dan dijawab Rochmadi iya. Pada 26 Mei, Jarot menemui Ali Sadli memberikan uang Rp 40 juta,” kata hakim Diah.

( Sumber : Eks Irjen Kemendes Divonis 1,5 Tahun Bui Kasus Suap Auditor BPK )

Eks Auditor BPK Bantah Dakwaan soal Terima Rp 240 Juta

Jakarta (VLF) – Mantan auditor BPK Rochmadi Saptogiri merasa dakwaan yang disampaikan jaksa KPK padanya harus dibatalkan. Menurutnya, dakwaan jaksa itu belum melalui proses penyidikan.

“Dakwaan harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, yang mulia, karena tidak didahului dengan penyidikan,” kata kuasa hukum Rochmadi, Ainul Syamsu, membacakan eksepsi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017).

Rochmadi didakwa menerima uang Rp 240 juta terkait opini wajar tanpa pengecualian (WTP) di Kementerian Desa PDTT. Namun, dakwaan itu disebut tidak cermat.

Selain itu, Rochmadi juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut Syamsu, TPPU tidak berdasar dari LHKPN. Selain itu, menurutnya, jaksa KPK tidak menyertakan laporan dari PPATK.

“Objek dakwaan ketiga dan keempat bukanlah termasuk transaksi laporan keuangan mencurigakan karena PPATK tidak pernah melaporkan harta sebagai transaksi keuangan mencurigakan,” ujar Syamsu.

Syamsu juga menerangkan penyidik tidak pernah melakukan pemeriksaan penyidikan kepada terdakwa. Terdakwa juga tidak diberi tahu mengenai sprindik yang dikeluarkan oleh KPK.

“Terdakwa tidak pernah diberitahu, nggak dikasih salinan sprindik gratifikasi. Kami simpulkan dakwaan kedua tidak melalui proses penyidikan,” ujar Syamsu.

Rochmadi didakwa melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a dan huruf b UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.  ( Sumber :Eks Auditor BPK Bantah Dakwaan soal Terima Rp 240 Juta )

Perppu Ormas Disahkan, Pemerintah Kini Bisa Bubarkan Ormas

Jakarta (VLF) – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas akhirnya disahkan oleh DPR sebagai undang-undang melalui Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang melalui mekanisme voting sebab seluruh fraksi pada Rapat Paripurna gagal mencapai musyawarah mufakat meskipun telah dilakukan forum lobi selama dua jam.

Tercatat tujuh fraksi yang menerima Perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.

Namun Fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.

Sementara itu tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolakPerppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.

“Kita telah mendapatkan hasil, dengan total 445 anggota, sebanyak 314 anggota menerima dan 131 menolak. Dengan demikian dengan mempertimbangkan catatan yang telah dipertimbangkan maka paripurna menyetujui Perppu No. 2 tahun 2017 menjadi undang-undang,” lanjut Fadli.

Dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi Undang-undang, maka pemerintah melalui regulasi ini memiliki wewenang untuk membubarkan sebuah ormas yang mengancam NKRI dan bertentangan dengan Pancasila.

Pembubaran ormas merupakan tahapan sanksi terakhir yang akan dijatuhkan kepada ormas yang melanggar. Sebelumnya, pemerintah melalui menteri terkait akan memberikan peringatan tertulis hingga penghentian kegiatan.

Jika sanksi penghentian kegiatan tak digubris, pemerintah baru akan menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum alias pembubaran.

( Sumber : Perppu Ormas Disahkan, Pemerintah Kini Bisa Bubarkan Ormas )

Kasus E-KTP, KPK Periksa Empat Saksi untuk Dirut PT Quadra Solution

Jakarta (VLF) – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap empat orang untuk kasus pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP).

Empat orang yang akan diperiksa tersebut yaitu Slamet Aji Pamungkas, Rudira S Boedi Mranata, Yeanne Sutrisno serta Shierlyn Chandra.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, keempatnya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama (Dirut) PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo (ASS).

“Yang bersangkutan akan diperiksa untuk tersangka ASS,” ujar Febri dikonfirmasi, Rabu (25/10/2017).

Anang ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (27/9/2017) silam. Dia diduga terlibat dalam kasus e-KTP bersama tersangka lainnya karena dinilai merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sebesar Rp 5,9 triliun.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebutkan, perusahaan Anang tergabung dalam konsorsium yang memenangkan proyek e-KTP tersebut.

“PT Quadra Solution merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium proyek itu,” sebut Syarif dalam jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Anang adalah tersangka keenam dalam dugaan korupsi proyek E-KTP ini.

Sebelumnya, KPK sudah menetapkan lima tersangka, yakni Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan Markus Nari.

Namun, gugatan praperadilan yang dimenangkan Novanto membatalkan status tersangka terhadap Ketua DPR itu. ( Sumber :Kasus E-KTP, KPK Periksa Empat Saksi untuk Dirut PT Quadra Solution )

Swasta Disebut Terlibat Korupsi karena Tekanan Birokrasi

Jakarta (VLF) – Deputi Pencegahan Direktorat Pendidikan dan Layanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Masagung Dewanto mengatakan, perusahaan atau sektor swasta merupakan salah satu pihak yang kerap terlibat dalam kasus korupsi.

Namun, keterlibatan pihak swasta bukan karena ingin meraup keuntungan dari unit usaha yang dikembangkan. Menurut Masagung, swasta terpaksa mengikuti pola atau kebiasaan yang sudah terbentuk dalam birokrasi.

“Mereka (swasta) korupsi karena tekananya terlalu kuat dari sektor birokrasi. Bukan memaksimalkan keuntungan, mereka hanya mengikuti prosesnya saja,” ujar Masagung dalam suatu seminar yang digelar di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (25/10/2017).

Menurut Masagung, kebanyakan pihak swasta sebenarnya ingin korupsi di Indonesia bisa hilang. Karena dengan tidak adanya korupsi, maka dunia usaha dapat berjalan tertib.

“Sektor swasta, sebenarnya mereka tidak antusias untuk korupsi meskipun kasusnya melibatkan swasta,” kata dia.

Adapun data di KPK, lanjut dia, jumlah pihak swasta yang terlibat korupsi hingga saat ini sekitar 50-an. Sementara yang paling banyak terlibat dari kalangan pejabat negara.

“Anggota DPR, DPRD 130-an; Gubernur, Bupati total kurang lebih 100-an. Kalau kami lihat, unsur politik paling banyak (terlibat korupsi),” ujar dia. ( Sumber :Swasta Disebut Terlibat Korupsi karena Tekanan Birokrasi )

 

MK Akan Minta Keterangan KPU soal Proses Verifikasi Peserta Pemilu

Jakarta (VLF) – Mahkamah Konstitusi (MK) akan meminta keterangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (13/11/2017).

Keterangan KPU diperlukan dalam uji materi terkait ketentuan proses verifikasi peserta pemilu dalam pasal 173 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan perkara Nomor 60/PUU-XV/2017.

“Untuk agenda sidang berikutnya hari Senin tanggal 13 november 2017, ada kemungkinan MK akan memannggil KPU untuk didengar keteranganmya sebagai pihak terkait,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat memimpin sidang uji materiil UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta Pusat (24/10/2017).

Menurut Arief, MK akan meminta keterangan KPU mengenai mekanisme verifikasi partai politik pada Pemilu 2014. Sebab, proses verifikasi yang dilakukan saat ini tidak jauh berbeda.

Selain meminta keterangan KPU, agenda sidang juga akan mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh PSI.

“Agenda mendatang juga akan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon perkara Nomor 60,” ucap Arief.

Agenda sidang uji materiil UU Pemilu hari ini dijadwalkan untuk mendengar keterangan Presiden dan DPR.

Namun, pihak DPR tidak hadir dengan mengirimkan surat kepada MK.

Sementara itu, pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM tetap pada sikap dan pendirian pada sidang sebelumnya.

Selain permohonan perkara dari PSI Idaman, sidang tersebut juga menguji empat permohonan yang menggugat pasal yang sama.

Nomor perkara 53/PUU-XV/2017 diajukan oleh Rhoma Irama dari Partai Idaman. Nomor perkara 62/PUU-XV/2017 diajukan oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Selanjutnya perkara Nomor 67/PUU-XV/2017 diajukan oleh Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia. Selain itu, ada pula perkara Nomor 73/PUU-XV/2017.

Ketua PSI Grace Natalie dan Sekjen PSI Raja Juli Antoni mempersoalkan ketentuan dalam pasal 173 karena dinilai bersifat tidak adil dan diskriminatif.

PSI merupakan parpol baru yang wajib mengikuti verifikasi oleh KPU. Sementara untuk parpol yang telah mengikuti Pemilu 2014 tidak wajib mengikuti verifikasi. ( Sumber : MK Akan Minta Keterangan KPU soal Proses Verifikasi Peserta Pemilu )

BPOM Libatkan KPK untuk Antisipasi Kecurangan Perizinan Obat dan Makanan

Jakarta (VLF) – Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BPOM) melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dalam mengantisipasi korupsi di internal BPOM. Antisipasi khususnya terkait pemberian izin obat dan makanan.

“KPK itu adalah mitra, mitra buat BPOM, untuk mengawal kami, supaya kami menjadi tetap clean governance,” ujar Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapeutik Narkotik Psikotropika dan Zat Adiktif (BPOM) Nurma Hidayati di Gedung KPK Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Nurma mengatakan, BPOM selama ini melakukan pengawasan mulai dari pre-market, atau sebelum produk obat dan makanan beredar di pasaran. Mekanismenya dimulai dari pemberian izin.

Menurut Nurma, kerja sama ini adalah antisipasi agar pemberian izin tidak dipengaruhi konflik kepentingan. Apalagi, di dalam melakukan bisnis proses, pihak BPOM berinteraksi dengan pihak luar, yakni pelaku usaha di pusat dan daerah.

“Jadi bagaimana perizinan ini tetap sesuai dengan kaidah pemerintahan yang bersih, akuntabel. Ini lah yang diantisipasi untuk ke depannya tetap seperti itu,” kata Nurma.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, kajian tentang pengawasan obat dan makanan pernah dilakukan KPK. Beberapa hasil kajian, menurut Basaria, seperti pembatasan peredaran obat.

“Juga bagaimana supaya tidak ada duplikasi yang sama. Contohnya paracetamol ada 139 merek, ada juga temuan dengan komposisi yang sama, harganya bisa 2 sampai 80 kali lipat,” kata Basaria.

Selain itu, menurut Basaria, masih diperlukan perbaikan regulasi soal kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan. Misalnya, pengawasan terhadap obat dan makanan yang telah beredar.

“Ada temuan yang didapat oleh BPOM, kemudian diinformasikan ke Pemda, tapi pelaksanaannya hanya sekitar 23 persen yang ditindaklanjuti,” kata Basaria.

KPK menyarankan agar BPOM memiliki unit monitoring di daerah, agar tindak lanjut temuan bisa dievaluasi secara bertahap. Basaria mengatakan, temuan atau kesalahan  harus diberikan tindakan atau sanksi yang tegas. ( Sumber :BPOM Libatkan KPK untuk Antisipasi Kecurangan Perizinan Obat dan Makanan )

Mantan Pejabat BPN Pernah Terima Parsel dan Uang dari Andi Narogong

Jakarta (VLF) – Terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong, diduga pernah menyuap pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tidak terkait dengan proyek e-KTP.

Hal itu terungkap dalam persidangan kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (20/10/2017).

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan beberapa saksi, salah satunya adalah Nurhadi Putra.

Nurhadi merupakan mantan Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Pembinaan/Pembuatan/Pengembangan Sistem, Data, Statistik dan Informasi dan Kegiatan Pembiayaan Lain-lain BPN RI Tahun 2009.

Dalam persidangan, Nurhadi mengaku pernah menerima parsel dan uang dari Andi Narogong.

“Mohon maaf saya salah. Saya anggap pemberian itu kebaikan hati mereka, maka saya terima,” ujar Nurhadi kepada majelis hakim.

Nurhadi mengaku pertama kali menerima hadiah berupa parsel. Kemudian, pada akhir 2009 dan akhir 2010, dia menerima pemberian masing-masing sekitar Rp 20 juta dari saudara kandung Andi, Dedi Prijono.

Menurut Nurhadi, saat itu Andi sedang mengikuti lelang pengadaan mobil di BPN.

Nurhadi mengaku salah kepada majelis hakim. Ia mengatakan, uang sekitar Rp 41 juta yang ia terima telah diserahkan semuanya kepada penyidik KPK.

“Iya saya akui kesalahan saya. Saya terima saya salah,” kata Nurhadi. ( Sumber : Mantan Pejabat BPN Pernah Terima Parsel dan Uang dari Andi Narogong )

Lagi, Setya Novanto Tak Hadiri Persidangan Kasus E-KTP

Jakarta (VLF) – Ketua DPR RI Setya Novanto lagi-lagi tidak memenuhi pemanggilan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Novanto telah dua kali dipanggil untuk menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

“KPK menerima surat dari DPR yang intinya menyampaikan Setya Novanto, Ketua DPR RI, tidak dapat memenuhi panggilan sebagai saksi di pengadilan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (20/10/2017).

Menurut Febri, Novanto beralasan bahwa ia sedang ada kegiatan lain. Novanto meminta jaksa cukup membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) di pengadilan.

Pada panggilan pertama, Novanto beralasan tengah melakukan pemeriksaan kesehatan.

“JPU masih akan menimbang hal tersebut, apakah akan dipanggil kembali atau tidak,”kata Febri.

Dalam kasus ini, Andi Narogong didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun dalam proyek e-KTP.

Menurut jaksa, Andi diduga terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.

Selain itu, Andi berperan dalam mengarahkan dan memenangkan Konsorsium PNRI menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.

Andi diduga mengatur pengadaan dalam proyek e-KTP bersama-sama dengan Setya Novanto.

Setya Novanto diduga mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.

Selain itu, ia juga diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP sewaktu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.

Novanto sempat menjadi tersangka kasus tersebut, tetapi dibatalkan hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

KPK memastikan akan kembali menerbitkan surat perintah penyidikan untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka. ( Sumber : Lagi, Setya Novanto Tak Hadiri Persidangan Kasus E-KTP )

Wiranto Anggap Hasil OTT Saber Pungli Rp 315 Miliar Masih Sedikit

Jakarta (VLF) – Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) sudah melakukan 1.079 operasi tangkap tangan sejak dibentuk pada akhir Oktober 2016.

Data ini dipaparkan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan keamanan dalam jumpa pers tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Kamis (19/10/2017).

“Jadi ini bukan hanya kerugian negara, tapi kerugian masyarakat karena pungli juga harus kita tindak,” kata Wiranto.

Wiranto mengatakan, kebanyakan operasi tangkap tangan yang dilakukan diawali dari adanya aduan masyarakat.

Hingga saat ini, sudah ada 32.808 aduan yang masuk. Sementara, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebanyak 2.152 orang.

Adapun dana yang berhasil diamankan sebesar Rp 315.623.205.500.

“Masih sedikit ini Rp 315 Miliar karena pungli yang kecil-kecil kita sapu bersih juga,” ucap Wiranto.

Wiranto menambahakan, dalam waktu setahun ini, Saber Pungli juga sudah membuka kantor perwakilan di setiap provinsi, kabupaten/kota. ( Sumber : Wiranto Anggap Hasil OTT Saber Pungli Rp 315 Miliar Masih Sedikit )