Category: Global

Pengacara Eggi Sudjana Bakal Ramaikan Pilgub Jabar 2018

Jakarta (VLF) – Pengacara Eggi Sudjana mencoba peruntungannya maju pada Pilgub Jabar 2018 melalui jalur independen. Eggi juga pernah ikut dalam Pilgub Jabar 2013 namun gagal pada tahapan verifikasi KPU.

Rencana Eggi maju dalam Pilgub Jabar 2018 terlihat saat timnya menghadiri undangan KPU Jabar dalam sosialisasi proses pendaftaran jalur independen, di Kantor KPU, Jalan Garut, Kota Bandung, Kamis (19/10/2017). Selain tim Eggi, ada juga empat tim bakal calon lainnya yang datang, mulai dari tim Gatot K, Deni N, dan Adjie Sudjatmiko.

Ardi Subarkah, salah seorang tim Eggi Sudjana menyatakan datang ke Kantor KPU untuk menyerap informasi mengenai tata cara teknis pendaftaran jalur independen. “Kami datang untuk menyerap informasi terkait pendaftaran,” kata Ardi, di Kantor KPU Jabar, Kamis (19/10/2017).

Untuk menghadapi Pilgub Jabar, pihaknya telah menyiapkan berbagai hal demi meloloskan Egggi Sudjana. Sejak beberapa bulan terakhir pihaknya sibuk mengumpulkan dukungan untuk Eggi Sudjana.

“Kami sudah melakukan persiapan menjaring dukungan di 27 kabupaten/kota sejak beberapa bulan lalu,” ucap Ardi.

Disinggung jumlah dukungan yang harus mencapai 2,1 juta dukungan atau KTP, dia mengaku masih berupaya memenuhinya. Namun dia yakin bisa memenuhi syarat dukungan yang ditetapkan KPU Jabar sebanyak 6,5 persen dari jumlah DPT Pemilu terakhir.

“Yang jelas dukungan untuk Pak Eggi sudah tersebar. Karena basis kami itu elemen buruh dan pesantren-pesantren,” ucapnya.

Di lokasi sama, Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat menuturkan selama ini pihaknya sudah menerima lima tim dari bakal calon yang sempat mencari informasi terkait jalur perseorangan.

“Beberapa waktu lalu ada lima yang berkomunikasi. Ada tim dari Aa Gym, Eggi Sudjana, Ayi Hambali dan dua orang lagi lupa,” ujar Yayat.

Pihaknya tetap membuka kesempatan kepada siapapun yang berniat maju Pilgub Jabar melalui jalur perseorangan. Untuk Pilgub Jabar 2018, pihaknya menyiapkan slot tiga pasangan calon untuk jalur perseorangan.

“Nanti tanggal 22-26 November sudah harus memberikan berkas dukungan,” katanya.

( Sumber :Pengacara Eggi Sudjana Bakal Ramaikan Pilgub Jabar 2018 )

KPK Bantu Polda Sulteng Tangani Kasus Kerugian Negara Rp 1,39 Miliar

Jakarta (VLF) – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

KPK membantu penanganan kasus korupsi yang diduga merugikan negara Rp 1,39 miliar.

“Hari ini, dalam rangka pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi, KPK memberikan dukungan keterangan ahli untuk pihak penyidik Polda Sulawesi Tengah,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui keterangan tertulis, Kamis (19/10/2017).

Kasus yang sedang ditangani Polda Sulteng ini adalah kasus dugaan korupsi pembangunan ruko di Jalan Gadjah Mada, Kota Palu.

Pembangunan menggunakan anggaran Pemda Donggala tahun anggaran 2013.

Menurut Febri, perkara yang sudah disupervisi KPK sejak 2015 ini sekarang digugat di praperadilan di Pengadilan Negeri Palu. Penggugat adalah Ibrahim Salim, tersangka dalam kasus tersebut.

Salah satu alasan praperadilan, Ibrahim menilai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berwenang menghitung kerugian negara.

“Tentu alasan itu tidak tepat, karena baik putusan MK atau sejumlah putusan kasus korupsi, termasuk yang ditangani KPK, perhitungan kerugian negara oleh BPKP tetap dipertimbangkan dan diterima oleh hakim,” kata Febri.

Untuk itu, KPK memfasilitasi pemberian keterangan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan BPKP. Ahli yang akan dihadirkan adalah Najmatuzzahrah, pelaksana tugas Kepala Auditorat di AUI BPK.

Kemudian, Usadani, dari BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah.

“Ini menjadi salah satu bukti pelaksanaan tugas korsup berjalan. Jika ada pihak-pihak yang mengatakan KPK, Polri dan Kejaksaan berjalan sendiri, maka itu tidak benar,” kata Febri. ( Sumber : KPK Bantu Polda Sulteng Tangani Kasus Kerugian Negara Rp 1,39 Miliar )

 

Meski Ada Pro dan Kontra, Kapolri Diminta Tetap Bentuk Densus Tipikor

Jakarta (VLF) – Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyomengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi ( Densus Tipikor) bukan untuk menyaingi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Densus Tipikor dibentuk untuk semakin memperkuat pemberantasan korupsi.

“Densus Tipikor didirikan bukan untuk bersaing dengan KPK. Tapi justru Densus Tipikor dan KPK harus mampu membangun sinergi untuk menumbuhkan efek gentar,” ujar Bambang melalui keterangan tertulis, Kamis (19/10/2017).

Ia berharap, Kapolri Jenderal Tito Karnavian tetap semangat memperjuangkan terbentuknya Densus Tipikor meski muncul sejumlah pro dan kontra.

Sebab, kata Bambang, semua pemangku kepentingan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, serta seluruh anggota Komisi III DPR mendukung rencana pembentukan densus tersebut.

“Munculnya pro-kontra atas kehadiran Densus Tipikor, diharapkan tidak membuat Kapolri mengendur untuk merealisasikan gagasan brilian itu,” kata Politisi Partai Golkar itu.

Gagasan pembentukan Densus Tipikor, kata Bambang, sudah muncul sejak Kapolri dijabat Jenderal Sutarman.

Namun ,gagasan itu menguap dan kembali muncul pada masa kepemimpinan Tito Karnavian.

Densus Tipikor diharapkan tak hanya fokus pada fungsi penindakan namun juga kepada aspek yang lebih penting, yakni fungsi pencegahan dan upaya menumbuhkan efek jera bagi pelaku tipikor.

Dua fungsi tersebut, menurut dia, saat ini masih “kosong”.

Masyarakat belum mengetahui program-program spesifik apa yang bisa mencegah pejabat negara atau masyarakat melakukan korupsi.

“Efek gentar dari kehadiran Densus Tipikor Mabes Polri sangat diperlukan. Bahkan harus ditumbuhkan. Namun, efek gentar itu perlu dikelola sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa takut berlebihan dari satuan kerja atau pengguna anggaran,” kata Bambang.

Pro dan kontra atas gagasan pembentukan Densus Tipikor mengemuka.

Salah satunya dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla menilai, Polri tidak perlu membentuk Densus Tipikor.

Menurut dia, saat ini cukup memaksimalkan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.

“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata Wapres di kantornya di Jakarta, Selasa (17/10/2017), seperti dikutip Antara.

Dalam pemberantasan korupsi, kata Kalla, perlu berhati-hati dan jangan sampai isu tersebut menakutkan para pejabat untuk membuat kebijakan.

Menurut Kalla, salah satu yang memperlambat proses pembangunan di samping proses birokrasi yang panjang juga ketakutan pengambilan keputusan.

Sementara, Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai, lebih baik pemerintah fokus untuk memperkuat kelembagaan KPK.

Pembentukan Densus Tipikor dikhawatirkan melahirkan persaingan tidak sehat antar-lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi. ( Sumber :Meski Ada Pro dan Kontra, Kapolri Diminta Tetap Bentuk Densus Tipikor )

Kasus Suap APBD Malang, Giliran 11 Anggota DPRD Diperiksa KPK

Jakarta (VLF) – Pemeriksaan terhadap anggota DPRD Kota Malang oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut, Kamis (19/10/2017) di ruang pertemuan utama (Rupatama) Polres Malang Kota.

Kali ini, giliran 11 anggota dewan yang diperiksa. Yaitu Asia Iriani (PPP), Syamsul Fajrih (PPP) Suprapto (PDI P), Priyatmoko Oetomo (PDI P), Salamet (Gerindra) dan Hery Subiantono (Demokrat).

Selain itu juga ada Heri Pudji Utami (PPP), Arief Hermanto (PDI P), Hadi Susanto (PDI P), Tutuk Hariyani (PDI P) dan Teguh Mulyono (PDI P).

Mereka diperiksa sebagai saksi atas mantan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono yang menjadi tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.

“Diperiksa seputar proses penganggaran. Peristiwa – peristiwa yang berkaitan dengan itu,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Priharsa Nugraha kepada Kompas.com.

Sementara itu, proses pemeriksaan hingga saat ini masih berlangsung. Para terperiksa masih berada di dalam ruang pemeriksaan dan hanya keluar untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur.

Arief Hermanto, salah satu terperiksa mengatakan, pihaknya masih ditanya soal identitas pribadi, belum masuk ke materi pemeriksaan.

“Ditanya soal identitas saya saja,” katanya saat jeda pemeriksaan untuk shalat dzuhur.

Hal yang sama disampaikan oleh Heri Pudji Utami. Ia mengatakan, pertanyaan oleh penyidik belum masuk ke materi pemeriksaan.

“Belum, masih ngisi biodata. Belum masuk ke materi pemeriksaan,” katanya.

Sebelumnya, pada Rabu (18/10/2017), sembilan anggota DPRD Kota Malang lainnya juga diperiksaan. Yakni Ribut Harianto (Golkar), Subur Triono (PAN), Zainudin (PKB), Wiwik Hendri Astuti (Demokrat), Rahayu Sugiharti (Golkar), Sukarno (Golkar), Sahrawi (PKB), Mohan Katelu (PAN) dan Abd Hakim (PDI Perjuangan).

Dengan begitu, sudah ada 20 anggota DPRD Kota Malang yang diperiksa KPK. Status pemeriksaannya sama, yakni sebagai saksi atas Moch Arief Wicaksono.

Diketahui, Arief Wicaksono menjadi tersangka utama dalam kasus suap pembahasan APBD dan APBD Perubahan yang terjadi pada tahun 2015 di Kota Malang.

Arief disangka menerima suap sebesar Rp 700 juta dari Jarot Edy Sulistyono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang.

Suap sebanyak itu disebut terkait pembahasan APBD Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Jarot sudah ditetapkan tersangka sebagai pemberi suap.

Selain itu, Arief juga disangka menerima suap dari Komisaris PT ENK, Hendarwan Maruszaman sebesar Rp 250 juta. Suap itu diduga terkait penganggaran kembali proyek pembangunan Jembatan Kendung Kandang dalam APBD Kota Malang Tahun Anggaran 2016 pada 2015.

Nilai proyek pembangunan jembatan tersebut yakni Rp 98 miliar, yang dikerjakan secara multiyears tahun 2016 sampai 2018. Hendarwan juga sudah ditetapkan tersangka sebagai pemberi suap.

( Sumber : Kasus Suap APBD Malang, Giliran 11 Anggota DPRD Diperiksa KPK )

Novanto Perintahkan Fraksi Golkar di DPR Dukung Perppu Ormas

Jakarta (VLF) – Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto memerintahkan fraksinya di DPR untuk mendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas (Perppu Ormas) yang saat ini tengah dibahas.

Hal tersebut disampaikan Novanto saat membuka seminar nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tema “Revitalisasi Ideologi Pancasila Sebagai Landasan Perjuangan Partai Golkar” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (19/10/2017).

“Saya tegaskan dan perintahkan Fraksi Golkar untuk mendukung Perppu Ormas. Perppu ini merupakan langkah yang tepat dalam rangka menerapkan langkah preventif menjaga Pancasila dari ormas-ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan ingin ganti Pancasila dengan ideologi lainnya,” ujar Novanto.

Novanto menuturkan, bagi Golkar, Pancasila sebagai ideologi negara merupakan ideologi final yang harus dipertahankan.

Pancasila, lanjut Novanto, merupakan dasar negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di Indonesia.

“Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan agama lainnya. Bahkan nilai-nilai Pancasila menyesuaikan dengan ajaran luhur yang diajarkan semua agama,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Novanto menegaskan bahwa pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam mempertahankan Pancasila melalui penerbitan Perppu Ormas.

“Bagi siapapun yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara, maka dia akan berhadapan langsung dengan Partai Golkar. Entah ideologi komunisme, kapitalisme, atau ideologi berdasarkan agama-agama tertentu,” tuturnya.

“Kami akan berada di baris paling depan berhadapan dengan pihak-pihak tersebut,” tambah Novanto.

Dalam acara tersebut sejumlah petinggi partai dan senior politisi Golkar antara lain BJ Habibie, Agung Laksono, Mahyudin, Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung.

Komisi II DPR tengah membahas Perppu Ormas dengan meminta pandangan berbagai pihak. Nantinya, DPR akan memutuskan apakah menerima atau tidak Perppu Ormas.

Mahkamah Konstitusi juga sedang melakukan uji materi terhadap Perppu Ormas.

Perppu tersebut memungkinkan pemerintah mencabut badan hukum ormas tanpa melalui proses pengadilan. ( Sumber : Novanto Perintahkan Fraksi Golkar di DPR Dukung Perppu Ormas )

Lucunya Anggota Dewan Menyalahkan KPK karena Banyak Korupsi di DPR…

Jakarta (VLF) – Sikap anggota DPR yang mempertanyakan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah agar anggota Dewan tidak korupsi, dianggap sesuatu hal yang lucu.

Apalagi, pertanyaan itu muncul di tengah banyaknya upaya DPR untuk memperlemah KPK.

“Tampak benar itu memperlihatkan sederhananya cara berpikir DPR. Selain sederhana, juga lucu dan aneh,” ujar peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Kompas.com, Selasa (17/10/2017).

Menurut Lucius, pertanyaan itu menunjukkan pengakuan dari DPR bahwa DPR tidak pernah kapok melakukan korupsi.

Estafet korupsi itu terjadi bukan karena DPR tak paham aturan, tetapi karena mereka paham aturan, bahkan mereka sebagai pembuat aturan.

“Mereka bahkan justru memanfaatkan celah aturan yang mereka buat sendiri. Lalu, seolah KPK lah yang gagal menghentikan korupsi yang terus terjadi di DPR,” kata Lucius.

Lucius menganggap, penilaian DPR yang menganggap KPK gagal menghentikan korupsi bukan sebuah penilaian yang obyektif.

Penilaian ini, menurut Lucius, hanya bagian dari upaya DPR untuk melemahkan dan membubarkan KPK.

Dalam bidang pencegahan, kata Lucius, KPK sudah berupaya untuk mengikuti rapat-rapat pembahasan anggaran.

KPK juga dengan berani dan rela menanggung risiko untuk mengusulkan kenaikan dana parpol untuk mengurangi potensi korupsi kader partai politik.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mengkritisi kinerja KPK yang telah 15 tahun berdiri. Menurut dia, KPK belum optimal memberantas korupsi.

Desmond mengatakan, hal itu terlihat dari semakin banyaknya politisi di DPR yang tersangkut kasus korupsi.

“DPR ini korup, gimana agar DPR tidak korup lagi? Gimana antibodi, sudah dilakukan tidak cocok agar DPR yang korup, tidak korup lagi. Jangan korupsi ini beranak pinak ke depan. Dari edukasi, saya sepakat. Tapi hari ini kelembagaan kita korup, apa yang dilakukan KPK?” kata Desmond, dalam rapat kerja bersama KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Ia juga menanyakan kepada KPK, lembaga negara mana yang saat ini tak lagi korupsi sejak ada KPK.

Politisi Gerindra itu menilai, KPK tak mampu mencegah pejabat negara baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menghindari korupsi.

Dengan kondisi ini, KPK dianggapnya belum optimal membuat jera para pejabat negara yang masih melakukan korupsi.

“Kalau yang korup tak ada (diberi) antibodi dari KPK, publik berharap DPR yang korup ke depan tidak korup. Ada efek jera yang tidak maksimal, ada persoalan yang tidak maksimal,” lanjut Desmond.

( Sumber : Lucunya Anggota Dewan Menyalahkan KPK karena Banyak Korupsi di DPR…)

Auditor BPK Rochmadi Saptogiri Beli Mobil untuk Samarkan Uang Korupsi

Jakarta (VLF) – Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rochmadi Saptogiri, diduga berupaya menyamarkan uang yang diperoleh dari hasil korupsi.

Salah satunya dengan membeli satu unit mobil Honda Odyssey.

Hal itu terungkap dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/10/2017).

“Padahal terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa mobil dimaksud merupakan hasil tindak pidana korupsi,” ujar Jaksa KPK Zainal Abidin saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor.

Awalnya, pada April 2017, Rochmadi meminta dibelikan mobil Honda Odyssey kepada Ali Sadli, bawahannya yang menjabat sebagai Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK.

Atas permintaan tersebut, Ali Sadli membeli satu unit Honda Odyssey seharga Rp 700 juta di dealer mobil di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Namun, Rochmadi meminta agar pembelian mobil itu tidak menggunakan namanya.

Rochmadi memberikan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Andhika Aryanto.

Pada 26 April 2017, Ali Sadli membeli mobil Honda Odyssey RC 17 CVT Prestige, white orchid pearl, atas nama Andhika Aryanto.

Ali melakukan pembayaran secara bertahap sebanyak enam kali.

Pada 20 Mei 2017, mobil tersebut diantarkan ke kediaman Ali Sadli di Bintaro. Selanjutnya, mobil diantar ke kediaman Rochmadi .

Kemudian, enam hari setelah mobil diterima, Rochmadi ditangkap oleh petugas KPK.

Atas perintah Rochmadi, mobil tersebut dibawa dan disimpan di dealer mobil yang berada di Sunter, Jakarta Utara.

Menurut jaksa, Rochmadi mengetahui bahwa uang pembelian mobil tersebut berasal dari korupsi.

Sebab, uang Rp 700 juta tersebut menyimpang dari profil penghasilan Ali Sadli sejak 2014 sampai 2017.

Atas perbuatan tersebut, Rochmadi didakwa melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. ( Sumber : Auditor BPK Rochmadi Saptogiri Beli Mobil untuk Samarkan Uang Korupsi )

Mantan Hakim MK: Hakim Cepi Langgar Hukum Acara di Praperadilan Novanto

Jakarta (VLF) – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan menilai, hakim Cepi Iskandar telah melanggar mekanisme hukum acara pidana saat sidang praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Saat sidang praperadilan, hakim Cepi menolak permohonan Biro Hukum KPK untuk memutar rekaman yang menjadi landasan penetapan Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

“Dia tidak patuh pada hukum acara. Hakim tidak boleh menolak bukti dari para pihak. Orang mau dihukum mati aja harus didengar pendapatnya,” ujar Maruarar dalam diskusi Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) terkait praktik korupsi di lembaga peradilan, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2017).

Maruarar juga menilai alasan hakim Cepi menolak pemutaran rekaman tidak bisa dijadikan pembenaran.

Saat itu, hakim Cepi beralasan meski pembuktian penting, namun tetap harus ada perlindungan HAM.

Cepi tak masalah rekaman diputarkan jika tak ada nama-nama tertentu yang disebutkan di dalamnya.

Namun, ia tak setuju rekaman diputar jika ada nama-nama tertentu yang disebutkan.

Cepi meminta agar rekaman itu diserahkan saja kepadanya dalam bentuk digital. Nantinya, ia akan menilai apakah rekaman itu bisa dijadikan bukti atau tidak.

Karena hakim menolak, rekaman tersebut akhirnya tidak jadi diputarkan. KPK juga tidak jadi menyerahkan rekaman itu kepada hakim sebagai bukti.

Menurut Maruarar, Cepi seharusnya bisa mengabulkan permintaan KPK dan memutuskan sidang tersebut digelar tertutup.

“Itu sidang bisa tertutup. Kalau itu sudah dilakukan maka saya bisa bilang dia tidak melakukan pelanggaran,” kata Maruarar.

Hakim Cepi sebelumnya menerima sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Novanto. Dalam putusannya, penetapan tersangka Novanto oleh KPK dianggap tidak sah.

Dampaknya, KPK harus menghentikan penyidikan kasus Novanto terkait kasus e-KTP.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang di dalamnya terdapat Indonesia Corruption Watch (ICW), Madrasah Anti Korupsi (MAK) Muhammadiyah, dan Tangerang Public Transparancy Watch (Truth) melaporkan hakim Cepi ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung.

Para pelapor melihat sejumlah kejanggalan dalam sidang praperadilan tersebut.

Adapun KPK memastikan akan menerbitkan kembali surat perintah penyidikan yang baru untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka.( Sumber : Mantan Hakim MK: Hakim Cepi Langgar Hukum Acara di Praperadilan Novanto )

Jaksa Agung Setuju Pembentukan Densus Tipikor, asal…

Jakarta (VLF) – Jaksa Agung H.M. Prasetyo tak mempermasalahkan jika kejaksaan dilibatkan dalam Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) bentukan Polri.

Hanya, kata Prasetyo, mekanismenya harus mengacu pada payung hukum yang berlaku, yakni KUHAP.

Karena itu, ia sepakat jika kewenangan penuntutan tidak satu atap dengan penyelidikan dan penyidikan.

“Itu yang lebih baik. Itu mengacu pada hukum acara kan. Kalau opsi pertama (satu atap) kan dasarnya apa? Kan gitu,” kata Prasetyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Ia menekankan bahwa penanggung jawab perkara dalam persidangan ialah jaksa penuntut umum (JPU) sehingga tak bisa dipaksa untuk segera membawa berkas ke pengadilan.

Karena itu, lanjut Prasetyo, seorang jaksa tak bisa memaksakan agar perkara disidangkan jika memang belum lengkap.

Hal itu disampaikan Jaksa Agung untuk menjawab keluhan pihak Polri bahwa berkas perkara selama ini kerap bolak balik antara penyidik dan jaksa penuntut umum.

Ia mengatakan, jika sejak awal hasil penyidikan Densus Tipikor nantinya sudah lengkap, maka akan langsung diproses oleh Satuan Tugas Khusus Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (Satgasus P3TPK) bentukan kejaksaan.

“Ya jadi enggak usah dipaksakan harus cepat harus seperti itu. Kalau memang belum lengkap berkas perkaranya harus dikembalikan harus diperbaiki dong. Itu gunanya ada tahap prapenuntutan,” lanjut dia.

Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian sebelumnya menginginkan Densus Tipikor satu atap dengan jaksa seperti kerja KPK.

Hal itu untuk mempermudah proses penuntutan setelah Polri melakukan penyidikan.

Namun, sambung Tito, bisa pula Polri dan kejaksaan tak satu atap dalam Densus Tipikor.

Sehingga Polri melalui Densus Tipikor langsung berkoordinasi dengan satuan tugas (satgas) khusus yang dibentuk kejaksaan terkait penuntutan tipikor.

Bahkan, menurut Tito, bisa saja sejak proses penyelidikan Polri berkonsultasi dengan satgas dari kejaksaan.

Dengan demikian, proses pelimpahan berkas perkara akan lancar karena telah ada kesepahaman antara jaksa dan penyidik.

“Tujuannya agar tidak ada bolak-balik perkara karena perbedaan persepsi ketika berkasnya sudah selesai,” tutur Tito. ( Sumber :Jaksa Agung Setuju Pembentukan Densus Tipikor, asal… )

Menurut Gerindra, Kewenangan Densus Tipikor dan KPK Bakal Tumpang Tindih

Jakarta (VLF) – Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi ( Densus Tipikor) bentukan Polri berpotensi memunculkan masalah baru.

Menurut dia, kewenangan Densus Tipikor berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan KPK dan Polri dalam memberantas korupsi.

 Hal ini dikhawatirkan akan menjadi masalah baru.

“Jadi akhirnya anggaraan negara banyak dihabiskan untuk melakukan tindakan yang oleh lembaga lain sudah dilakukan. Koordinasi enggak ada. Tumpang tindih di lapangan akhirnya mennjadi suatu problem di masyarakat,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Apalagi, menurut Muzani, kewenangan KPK dalam melakukan seluruh fungsi pemberantasan korupsi telah diatur secara jelas dalam Undang-undang No 30 Tahun 2002.

Ia menyadari, Polri memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi, KPK merupakan intitusi utama dengan undang-undang yang bersifat lex spesialis.

Oleh karena itu, Muzani berpendapat, jangan sampai tumpang tindih kewenangan ini akan berimbas pada terlantarnya penyelesaian kasus besar.

“Kalau lahan yang sama diperebutkan terus pasti nanti ujungnya juga ada problem baru. Dan itu tak boleh kita anggap remeh. Kalau muncul, yang terjadi nanti ada lembaga yang secara undang-undang dengan sendirinya lemah,” lanjut dia.

Wapres tak sepakat ada Densus Tipikor

Sementara itu, pada Selasa (17/10/2017) kemarin, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, Polri tidak perlu membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor).

Menurut dia, saat ini cukup memaksimalkan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.

“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata Kalla. ( Sumber : Menurut Gerindra, Kewenangan Densus Tipikor dan KPK Bakal Tumpang Tindih )