Category: Global

Sehari Setelah Peringatan Jokowi, Bupati Nganjuk Ditangkap KPK

Jakarta (VLF) – “Ini banyak yang takut sama OTT, bener enggak?” demikian pertanyaan Presiden Joko Widodo kepada sekitar 500 bupati, wali kota dan gubernur yang ada di hadapannya.

“Betul,” jawab sebagian kepala daerah yang hadir.

“Ya jangan ngambil uang. Enggak perlu takut kalau kita enggak ngapa-ngapain,” ujar Jokowi lagi.

Dialog itu terjadi saat Jokowi mengumpulkan para kepala daerah di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/10/2017).

Jokowi mengaku tengah menyiapkan peraturan presiden (Perpres) yang bisa mengurangi bahkan menghilangkan operasi tangkap tangan. Perpres ini akan membangun sistem e-planning (perencanaan elektronik), e-budgeting (penganggaran elektronik), dan e-procurement(penganggaran elektronik) dengan skala nasional sehingga tak ada celah bagi kepala daerah untuk bermain anggaran.

“Sistem ini akan mengurangi, menghilangkan OTT itu tadi. Kalau sistem ini berjalan enggak ada yang namanya OTT,” kata Jokowi.

Kendati demikian, Jokowi tetap mengingatkan kepala daerah yang hadir untuk hati-hati. Jangan sampai ada kepala daerah yang bermain uang apalagi menyalahgunakan APBD.

“Saya tidak bisa bilang jangan (OTT) kepada KPK. Tidak bisa. Hati-hati. Saya bantunya ya hanya ini, membangun sistem ini,” kata Kepala Negara.

Ironi

Ironisnya, sehari setelah peringatan Jokowi tersebut, seorang kepala daerah kembali terjaring OTT KPK. Dia adalah bupati Nganjuk, Taufiqurrahman.

Informasi yang dihimpun Kompas.com, Taufiqurrahman turut hadir di Istana dan mendengarkan arahan dari Jokowi. Namun, setelah itu Taufiqurrahman langsung ditangkap lembaga antirasuah.

Juru bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, kegiatan OTT dilakukan di dua tempat yaitu di Jawa Timur dan di Jakarta.

“Sampai saat ini, informasi yang kami terima ada 15 orang yang diamankan, dan sebagian sedang dalam proses pemeriksaan,” kata Febri di Gedung Merah-Putih KPK, Jakarta, Rabu sore.

Febri pasa saat itu belum mau rinci siapa saja pihak-pihak yang ditangkap bersama Taufiqurrahman.

Namun, kata Febri, pihak-pihak yang diciduk itu berasal dari unsur kepala daerah, pegawai Pemkab Nganjuk dan swasta. Tim KPK juga mengamankan sejumlah uang dalam pecahan rupiah.

Menang praperadilan

Febri pun mengakui Bupati yang ditangkap KPK kali ini memang pernah berurusan dengan lembaga antirasuah sebelumnya. Namun, kasus ini tak berlanjut lantaran KPK kalah dalam gugatan praperadilan yang diajukan Sang Bupati.

“Dulu KPK memang pernah menangani juga, tetapi tidak bisa diselesaikan, karena kemudian kasus itu dilimpahkan berdasarkan perintah dari hakim praperadilan,” kata Febri.

Berdasarkan catatan Kompas.com, akhir 2016, KPK sempat menetapkan Taufiqurrahman sebagai tersangka kasus korupsi APBD Nganjuk 2009-2015. Perkara itu adalah perkara limpahan dari Kejaksaan.

Dia diduga terlibat dan mengintervensi pengerjaan lima proyek infrastruktur di Nganjuk yakni jembatan Kedungingas, proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, dan proyek perbaikan Jalan Sukomoro sampai Kecubung.

Kemudian, proyek rehabilitasi saluran Ganggang Malang, dan yang terakhir, proyek pemeliharaan berkala Jalan Ngangkruk ke Mblora di Kabupaten Nganjuk.

Atas status tersangka itu, Taufiqurrahman lantas mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Maret 2017, PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan Taufiqurrahman.

( Sumber : Sehari Setelah Peringatan Jokowi, Bupati Nganjuk Ditangkap KPK )

Mantan Hakim Agung Anggap Masih Banyak Hakim Keliru Buat Putusan

Jakarta (VLF) – Mantan Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja mengatakan, kualitas seorang hakim akan terlihat dari putusan yang dibuatnya. Dalam penegakan hukum, harus ada hakim yang baik dan pintar.

Menurut dia, masih banyak putusan hakim yang dianggap janggal dan ditentang publik. Hal ini kemudian berdampak pada citra kelembagaan peradilan itu.

“Jadi karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Peradilan enggak sebegitunya,” ujar Komariah dalam diskusi di Universitas Padjajaran, Bandung, Rabu (25/10/2017).

Komariah juga beberapa kali mengajar dalam pelatihan hakim untukpengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Ia spesifik untuk melatih peradilan tindak pidana korupsi. Pada waktu pelatihan, kata dia, para hakim tersebut terlihat begitu semangat dan antusias.

“Tapi ketika buat putusan, salah lagi,” kata dia.

Dalam seleksi calon hakim ad hoc, ada tes di mana peserta harus membuat risalah putusan. Komariah mengatakan, di tahap tersebut, banyak peserta yang gugur. Ia lantas menyorot contoh putusan peradilan yang dianggap masih keliru.

Pertama, putusan hakim Sarpin Rizaldi atas praperadilan yang diajukan Budi Gunawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Ia dijerat KPK dengan dugaan rekening gendut.

Hakim Sarpin, dalam dalil putusannya, menyarakan bahwa penyidikan KPK tidak sah sehingga Budi Gunawan lolos dari jeratan hukum.

“Untuk kasus ini saya katakan dia hakim yang bodoh, sampai saya dilaporkan,” kata Komariah.

Kemudian, Komariah juga menyorot putusan praperadilan hakim Cepi Iskandar atas gugatan Ketua DPR RI Setya Novanto. Ia menganggap pertimbangan hukum dalam putusan tersebut terkesan dicari-cari.

Secara akademis, menurut pandangan hukum secara normatif, putusan tersebut sedikit menyimpang. Salah satunya yakni pertimbangan yang menganggap KPK tidak bisa menetapkan tersangka di awal penyidikan.

“Kalau selesai penyidikan baru tetapkan tersangka, bagaimana dia minta keterangan tersangka. Data penyidikan untuk memperoleh data mengenai tersangka dari mana? Kalau sudah bocor, tersangka lari ke luar negeri,” kata Komariah.

Oleh karena itu, kata Komariah, masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam peningkatan kualitas dan profesionalisme. Begitu menjadi hakim, bukan berarti proses belajarnya terhenti.

Hakim tersebut juga harus banyak-banyak mempelajari teori hukum dan membuka ruang diskusi atas putusan tertentu. ( Sumber : Mantan Hakim Agung Anggap Masih Banyak Hakim Keliru Buat Putusan )

Pansus Angket Undang Sekjen dan Labuksi KPK, Apa yang Mau Didalami?

Jakarta (VLF) – Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) akan mengundang Sekretariat Jenderal KPK dan Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK, Kamis (26/10/2017) siang.

Ketua Pansus Hak Angket KPK, Agun Gunandjar Sudarsa menuturkan, sejumlah hal akan didalami dari Sekjen KPK. Misalnya, terkait tata kelola sumber daya manusia KPK, mulai dari pola rekrutmen hingga dasar hukumnya.

“Kami ingin mendalami lebih jauh. Jangan sampai ada sebuah proses yang pada akhirnya bisa cacat atau batal demi hukum karena cara pengangkatan, pemberhentian sampai pensiunnya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Agun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/10/2017).

Rapat bersama Sekjen KPK dijadwalkan Kamis pukul 10.00 WIB. Sedangkan rapat bersama Labuksi dijadwalkan pukul 14.00 WIB.

Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Eddy Kusuma Wijaya menuturkan, pihaknya masih ingin mendalami soal rumah penyimpanan barang sitaan negara (Rupbasan).

“Labuksi itu kalau di KUHAP kan Rupbasan. Rupbasan sudah ada tapi tidak semua barang sitaan KPK masuk ke Rupbasan,” kata Eddy.

Pansus memperkirakan, banyak barang sitaan yang belum tercatat. Terutama yang sifatnya kecil, bangunan dan tanah. Mengenai jumlahnya jika dikonversi menjadi besaran uang, pansus masih akan mendalaminya.

Sebab, kata Eddy, pihaknya menduga ada penyelewengan yang dilakukan KPK dalam menyimpan barang sitaan.

“Mau kami cek berapa dan yang dititipkan itu apa,” tutur Politisi PDI Perjuangan itu.

Perihal KPK yang mungkin tidak hadir seperti undangan sebelumnya, Eddy tak mempermasalahkannya. Pada pemanggilan ketiga, kata dia, DPR bisa melakukan pemanggilan paksa.

Hal ini, menurut dia, harus menjadi pelajaran bersama. Sebab, saat ini keabsahan hak angket masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi.

Menurut Eddy, MK juga perlu mempercepat pembacaan hasil gugatan tersebut agar semuanya menjadi jelas.

“Supaya tidak jadi polemik MK juga harus cepat memutuskan tentang JR,” kata Eddy.

( Sumber : Pansus Angket Undang Sekjen dan Labuksi KPK, Apa yang Mau Didalami? )

Novanto Bisa Ditetapkan Kembali Jadi Tersangka Meski Terus Mangkir

Jakarta (VLF) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus didesak untuk menindaklanjuti putusan praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan baru.

Mantan hakim agung Komariah Emong Sapardjaja mengatakan, penetapan tersangka tetap bisa dilakukan meski Novanto terus mangkir dari pemeriksaan.

“Ketidakhadiran dia tidak menjadikan proses ini terhenti. Yang penting ada bukti yang menyatakan tersangka terlibat,” ujar Komariah kepada Kompas.com, Rabu (25/10/2017).

Diketahui, Novanto bebas dari jeratan hukum pasca-putusan hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar yang menganggap penetapan tersangka KPK tidak sah. Beberapa hari setelah putusan itu, Novanto keluar dari rumah sakit setelah sempat dirawat dan operasi pemasangan ring jantung di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur.

KPK juga berupaya kembali memanggil Novanto sebagai saksi dalam penyidikan tersangka lainnya. Ia juga dipanggil sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi pengadaan e-KTP. Namun, Novanto selalu beralasan untuk tidak memenuhi panggilan itu.

Komariah mengatakan, kapanpun sepanjang ada bukti yang mengarah pada keterlibatan Novanto, maka KPK bisa menetapkannya kembali sebagai tersangka.

“Malahan kalau mangkir terus ada upaya paksa yang boleh dikeluarkan,” kata Komariah.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memastikan akan ada sprindik baru untuk Setya Novanto. Namun, hingga saat ini KPK masih mempelajari putusan praperadilan yang dimenangkan Setya Novanto.

“Intinya adalah itu tidak boleh berhenti. Itu harus lanjut karena kami digaji untuk itu,” ujar Saut.

Meski begitu, KPK tidak ingin terburu-buru untuk kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka.

Menurut Saut, KPK masih mempelajari putusan praperadilan yang membatalkan penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar itu. ( Sumber : Novanto Bisa Ditetapkan Kembali Jadi Tersangka Meski Terus Mangkir )

Banyak Anak Pejabat MA yang Tak Lolos Seleksi Calon Hakim

Jakarta (VLF) – Sekretaris Mahkamah Agung Achmad Setyo Pudjoharsoyo memastikan proses seleksi calon hakim dilakukan transparan dan akuntabel.

Proses tersebut juga menghindari tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan, tidak sedikit anak pejabat MA yang gugur dalam seleksi karena tidak memenuhi kualifikasi.

“Hampir semua anak-anak pejabat di MA justru tidak lolos. Bukan karena tidak kami loloskan, secara kualitas, anak peserta tidak lolos seleksi calon hakim,” ujar Achmad dalam diskusi publik bertajuk “Mendukung Pengadilan yang Transparan dan Akuntabel” di Universitas Padjajaran, Bandung, Rabu (25/10/2017).

“Termasuk anak saya sendiri tidak lolos,” kata dia.

Achmad mengatakan, MA berkomitmen untuk melakukan proses seleksi yang transparan agar hakim-hakim yang disaring benar-benar berkualitas. Hal ini tidak terlepas dari harapan masyarakat untuk mewujudkan badan peradilan yang betul-betul dipercaya.

Namun, ia menyayangkan masih sedikit peserta seleksi yang berasal dari universitas.

“Dari persentase yang kita sisir, dari perguruan tinggi 0,6 persen. Ini memprihatinkan,” kata Achmad.

Achmad berharap program diskusi publik dari satu kampus ke kampus lain membangkitkan minat mahasiswa untuk menjadi hakim. Bahkan, mahasiswa dari perguruan tinggi ternama pun tak terlihat dalam daftar peserta.

“Tidak tahu apakah karena takut ditempatkan di pelosok Indonesia atau karena takut dikritisi masyarakat dengan keputusannya,” kata Achmad.

Proses seleksi calon hakim sudah dimulai sejak pertengahan Juli 2017. Saat ini MA membutuhkan sebanyak 1.684 orang hakim. Jumlah ini telah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Seluruh hakim yang lolos seleksi nantinya akan ditempatkan di 808 pengadilan di seluruh daerah.

Mekanisme seleksi calon hakim pengadilan tidak sepenuhnya dijalankan oleh MA meskipun proses seleksi dilakukan berdasarkan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pengadaan hakim secara internal.

Sejak tahap awal seleksi hingga wawancara, MA melibatkan pihak eksternal seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, psikolog, dan akademisi bidang hukum.

Proses seleksi calon hakim dibagi menjadi tiga tahap, yakni pertama, tes kemampuan dasar di bawah kewenangan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Kedua, tes kemampuan bidang yang menggunakan sistem Computerized Assisted Test (CAT) dan soal-soal dibuat oleh pengadilan negeri.

Ketiga, psikotes yang melibatkan pihak eksternal, dan keempat, tes wawancara yang dilakukan oleh MA serta didampingi oleh para akademisi bidang hukum dari berbagai universitas.

( Sumber : Banyak Anak Pejabat MA yang Tak Lolos Seleksi Calon Hakim )

Eks Irjen Kemendes Divonis 1,5 Tahun Bui Kasus Suap Auditor BPK

Jakarta (VLF) – Mantan Irjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito, divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta serta subsider 2 bulan. Sugito terbukti bersalah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli Rp 240 juta.

“Menyatakan terdakwa Sugito dan Jarot Budi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar hakim ketua Diah membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017)

Selain itu, mantan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Inspektorat Kemendes, Jarot Budi Prabowo divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 75 juta serta subsider 2 bulan. Jarot Budi disebut hakim menyerahkan uang ke auditor BPK.

Dalam pertimbangan, hakim menyatakan Ali Sadli mengakui menerima uang Rp 200 juta dari Jarot Budi. Hal itu terbukti dalam kamera CCTV disebut hakim Jarot yang mengenakan tas berwarna hitam bertemu Ali Sadli di Kantor BPK pada 10 Mei 2017.

Pada 26 Mei, Jarot disebut juga bertemu kembali dengan Ali Sadli dengan membawa uang Rp 40 juta.

“10 Mei Sugito telah menyerahkan uang Rp 200 juta ke Jarot. Jarot membawa uang Rp 200 juta ke Ali Sadli, dan lalu Ali Sadli memerintah Choirul Anam menyerahkan uang ke ruang kerja Rochmadi. Hal itu dibuktikan dalam kamera CCTV dan diterangkan Ali Sadli serta diakui Jarot dan dijawab Rochmadi iya. Pada 26 Mei, Jarot menemui Ali Sadli memberikan uang Rp 40 juta,” kata hakim Diah.

( Sumber : Eks Irjen Kemendes Divonis 1,5 Tahun Bui Kasus Suap Auditor BPK )

Eks Auditor BPK Bantah Dakwaan soal Terima Rp 240 Juta

Jakarta (VLF) – Mantan auditor BPK Rochmadi Saptogiri merasa dakwaan yang disampaikan jaksa KPK padanya harus dibatalkan. Menurutnya, dakwaan jaksa itu belum melalui proses penyidikan.

“Dakwaan harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, yang mulia, karena tidak didahului dengan penyidikan,” kata kuasa hukum Rochmadi, Ainul Syamsu, membacakan eksepsi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017).

Rochmadi didakwa menerima uang Rp 240 juta terkait opini wajar tanpa pengecualian (WTP) di Kementerian Desa PDTT. Namun, dakwaan itu disebut tidak cermat.

Selain itu, Rochmadi juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut Syamsu, TPPU tidak berdasar dari LHKPN. Selain itu, menurutnya, jaksa KPK tidak menyertakan laporan dari PPATK.

“Objek dakwaan ketiga dan keempat bukanlah termasuk transaksi laporan keuangan mencurigakan karena PPATK tidak pernah melaporkan harta sebagai transaksi keuangan mencurigakan,” ujar Syamsu.

Syamsu juga menerangkan penyidik tidak pernah melakukan pemeriksaan penyidikan kepada terdakwa. Terdakwa juga tidak diberi tahu mengenai sprindik yang dikeluarkan oleh KPK.

“Terdakwa tidak pernah diberitahu, nggak dikasih salinan sprindik gratifikasi. Kami simpulkan dakwaan kedua tidak melalui proses penyidikan,” ujar Syamsu.

Rochmadi didakwa melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a dan huruf b UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.  ( Sumber :Eks Auditor BPK Bantah Dakwaan soal Terima Rp 240 Juta )

Perppu Ormas Disahkan, Pemerintah Kini Bisa Bubarkan Ormas

Jakarta (VLF) – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas akhirnya disahkan oleh DPR sebagai undang-undang melalui Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang melalui mekanisme voting sebab seluruh fraksi pada Rapat Paripurna gagal mencapai musyawarah mufakat meskipun telah dilakukan forum lobi selama dua jam.

Tercatat tujuh fraksi yang menerima Perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.

Namun Fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.

Sementara itu tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolakPerppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.

“Kita telah mendapatkan hasil, dengan total 445 anggota, sebanyak 314 anggota menerima dan 131 menolak. Dengan demikian dengan mempertimbangkan catatan yang telah dipertimbangkan maka paripurna menyetujui Perppu No. 2 tahun 2017 menjadi undang-undang,” lanjut Fadli.

Dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi Undang-undang, maka pemerintah melalui regulasi ini memiliki wewenang untuk membubarkan sebuah ormas yang mengancam NKRI dan bertentangan dengan Pancasila.

Pembubaran ormas merupakan tahapan sanksi terakhir yang akan dijatuhkan kepada ormas yang melanggar. Sebelumnya, pemerintah melalui menteri terkait akan memberikan peringatan tertulis hingga penghentian kegiatan.

Jika sanksi penghentian kegiatan tak digubris, pemerintah baru akan menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum alias pembubaran.

( Sumber : Perppu Ormas Disahkan, Pemerintah Kini Bisa Bubarkan Ormas )

Kasus E-KTP, KPK Periksa Empat Saksi untuk Dirut PT Quadra Solution

Jakarta (VLF) – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap empat orang untuk kasus pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP).

Empat orang yang akan diperiksa tersebut yaitu Slamet Aji Pamungkas, Rudira S Boedi Mranata, Yeanne Sutrisno serta Shierlyn Chandra.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, keempatnya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama (Dirut) PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo (ASS).

“Yang bersangkutan akan diperiksa untuk tersangka ASS,” ujar Febri dikonfirmasi, Rabu (25/10/2017).

Anang ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (27/9/2017) silam. Dia diduga terlibat dalam kasus e-KTP bersama tersangka lainnya karena dinilai merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sebesar Rp 5,9 triliun.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebutkan, perusahaan Anang tergabung dalam konsorsium yang memenangkan proyek e-KTP tersebut.

“PT Quadra Solution merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium proyek itu,” sebut Syarif dalam jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Anang adalah tersangka keenam dalam dugaan korupsi proyek E-KTP ini.

Sebelumnya, KPK sudah menetapkan lima tersangka, yakni Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan Markus Nari.

Namun, gugatan praperadilan yang dimenangkan Novanto membatalkan status tersangka terhadap Ketua DPR itu. ( Sumber :Kasus E-KTP, KPK Periksa Empat Saksi untuk Dirut PT Quadra Solution )

Swasta Disebut Terlibat Korupsi karena Tekanan Birokrasi

Jakarta (VLF) – Deputi Pencegahan Direktorat Pendidikan dan Layanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Masagung Dewanto mengatakan, perusahaan atau sektor swasta merupakan salah satu pihak yang kerap terlibat dalam kasus korupsi.

Namun, keterlibatan pihak swasta bukan karena ingin meraup keuntungan dari unit usaha yang dikembangkan. Menurut Masagung, swasta terpaksa mengikuti pola atau kebiasaan yang sudah terbentuk dalam birokrasi.

“Mereka (swasta) korupsi karena tekananya terlalu kuat dari sektor birokrasi. Bukan memaksimalkan keuntungan, mereka hanya mengikuti prosesnya saja,” ujar Masagung dalam suatu seminar yang digelar di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (25/10/2017).

Menurut Masagung, kebanyakan pihak swasta sebenarnya ingin korupsi di Indonesia bisa hilang. Karena dengan tidak adanya korupsi, maka dunia usaha dapat berjalan tertib.

“Sektor swasta, sebenarnya mereka tidak antusias untuk korupsi meskipun kasusnya melibatkan swasta,” kata dia.

Adapun data di KPK, lanjut dia, jumlah pihak swasta yang terlibat korupsi hingga saat ini sekitar 50-an. Sementara yang paling banyak terlibat dari kalangan pejabat negara.

“Anggota DPR, DPRD 130-an; Gubernur, Bupati total kurang lebih 100-an. Kalau kami lihat, unsur politik paling banyak (terlibat korupsi),” ujar dia. ( Sumber :Swasta Disebut Terlibat Korupsi karena Tekanan Birokrasi )