Ironi Korupsi di Perguruan Tinggi

Jakarta (VLF) – Tertangkap tangannya Rektor Unila oleh KPK (20/8/2022) terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri kembali mencoreng wajah pendidikan kita. Miris dan ironis karena yang diduga korupsi adalah pemimpin tertinggi kampus yang seyogianya memberikan teladan antikorupsi. Sekali lagi, kita tidak rela jika pelaku korupsi adalah mereka yang berpendidikan dan penyelenggara pendidikan, sebagai sektor prioritas pencetak generasi antikorupsi.

Kasus ini seperti membuka tabir dan memberi hikmah bahwa orang-orang yang memegang kuasa, termasuk kuasa dalam “mengatur” penerimaan (mahasiswa baru jalur mandiri) haruslah yang memiliki moralitas yang tinggi, iman yang kuat. Tetapi harus diakui juga bahwa akan sangat sulit mengukur moralitas pemegang kuasa ini.

Peristiwa ini memberikan penegasan kepada kita semua bahwa korupsi bisa terjadi di mana saja. Korupsi akan terus ada ketika ada “keuntungan” bagi kedua belah pihak. Peristiwa ini juga memberikan pesan bahwa ada potensi keji dalam dunia akademik, ketika hasrat orangtua untuk menyekolahkan atau mengualiahkan anak pada jurusan mentereng di suatu kampus mentereng, bergayung sambut dengan ulah nakal oknum pejabat kampusnya.

Bukan rahasia lagi bahwa para orangtua masih saja rela menggelontorkan dana ratusan juta demi anak agar bisa nangkring (baca: kuliah) di jurusan favorit. Batas-batas etika persaingan dan kemampuan anak mereka terobos seenaknya, tanpa berpikir panjang akan jadi apa anakku kelak, jika baru mulai kuliah saja sudah main sogokan.

Ada “Something Wrong”

Pada akhir 2021, ICW mencatat, negara rugi Rp 1,6 triliun dari korupsi pendidikan 6 tahun terakhir. Ini membuktikan ada something wrong dalam dunia pendidikan kita. Apalagi pendidikan adalah kawah candradimuka penggemblengan karakter antikorupsi pada anak-anak. Apa jadinya jika sektor yang digadang-gadang memberikan kontribusi dan andil besar dalam mencetak generasi penerus bangsa yang antikorupsi justru menjadi lahan empuk untuk mengeruk kekayaan pribadi?

Jika melihat kasus yang menimpa Rektor Unila yang turut mencatut nama Wakil Rektor 1 bidang akademik, ketua senat, dan pihak swasta yang menginginkan “jalan tol” masuk kampus, menunjukkan bahwa pola dan modus dalam praktik tindak pidana korupsi yang tidak hanya melibatkan dua atau tiga pihak, tetapi banyak pihak yang terorganisasi secara rapi –bisa dikatakan korupsi di Tanah Air masuk dalam kategori korupsi sistemik.

Salah satu solusi untuk memberantas korupsi sistemik adalah dengan pendekatan sistemik pula. Korupsi sistemik dilawan dengan pendekatan sistemik. Setidaknya ada tiga pendekatan sistemik untuk meredam laju korupsi. Pertama, dengan menumbuhkan kesadaran diri akan bahaya laten korupsi. Salah satunya dengan menggalakkan program pendidikan antikorupsi sejak dini. Semua profesi dari semua kalangan dapat berpartisipasi dalam penggalakan program antikorupsi. Misalnya guru yang menyisipkan pesan-pesan moral kepada siswa, berupa sikap kejujuran dalam kegiatan pembelajaran.

Intinya, pendidikan anti korupsi dimulai sejak dini dan dari diri sendiri, kemudian menjalar ke masyarakat. Karena, inti dari asal muasal adanya tindak pidana korupsi adalah sifat jujur. Bermula dari ketidakjujuran masalah-masalah yang dianggap sepele, kemudian merembet dengan menyepelekan arti kejujuran. Kebiasaan bersikap tidak jujur, berakibat pada gampangnya korupsi terjadi.

Mengurangi timbangan barang-barang yang dijual dengan iming-iming untung berlipat, atau korupsi waktu mengajar seorang guru atau dosen, jika dibiarkan terus-menerus terjadi, maka korupsi akan mudah terjadi. Maka dari itu perlu adanya gerakan anti korupsi berbasis masyarakat berjenjang dan terstruktur, karena kondisi sosial masyarakat turut mempengaruhi laju korupsi.

Kedua, dengan perbaikan di sektor-sektor yang terdampak korupsi agar terjadi penurunan prevalensi korupsi dan penurunan motivasi korupsi. Salah satu cara yang efektif untuk memberantas korupsi adalah menyerang sektor-sektor yang dirasa paling berpotensi untuk melakukan korupsi, yaitu sektor politik, ekonomi, terutama yang berkaitan dengan masalah pendanaan.

Sektor-sektor yang masih rawan korupsi seperti sektor penegakan hukum dan sektor lapangan usaha seperti pertambangan dan migas masih memiliki prevalensi suap tinggi yang menjadi indikator tindak korupsi, tak terkecuali dan luput adalah sektor pendidikan, yang turut menghadirkan potensi perilaku koruptif penyelenggara pendidikan.

Ketiga, kerja sama semua pihak, masyarakat sebagai kontrol. Peristiwa yang menimpa Rektor Unila juga memperlihatkan bahwa masih lemahnya sistem layanan di pendidikan tinggi. Berbagai cara masuk perguruan tinggi, dihelat dengan kompetisi yang ketat dan sehat.

Adanya jalur mandiri di satu sisi membuka kesempatan kepada seluruh anak bangsa untuk memilih kampus idaman. Tetapi, di sisi lain jalur ini rentan disalahgunakan jika tidak ada pengawasan dan kontrol yang ketat dan terukur. Inilah mengapa muncul istilah komersialisasi di pendidikan tinggi, dikarenakan banyaknya kampus membuka kelas “mandiri” guna menampung mereka yang tak lulus jalur SBMPTN, SNMPTN, tetapi berduit masuk lewat jalan mandiri.

Wajar jika kemudian asumsi yang terbentuk di masyarakat kita adalah masuk kampus idaman melalui jalur mandiri tampak lebih ringan dibandingkan seleksi bersama. Inilah tantangan bagi pemerintah khususnya Kemendikbudristek, agar ada standarisasi masuk kampus, dari prosedur seleksi, hingga biaya kuliahnya. Sehingga, tidak lagi ada celah bagi oknum akademisi untuk bermain dalam pengaturan kuota mahasiswa di kampusnya.

Di sinilah peran masyarakat muncul, yakni sebagai pengawas dan kontrol dari jalannya seleksi, bukan malah sebagai aktor yang mencederai nilai-nilai kejujuran dengan berani bayar mahal demi pendidikan anak (yang tak jelas muaranya), jika tetap dipaksakan.

Bahaya Laten

Sangat sulit memberantas sifat korup tersebut, namun bukan berarti mustahil dan tidak bisa. Memang sangat luas menerjemahkan makna korupsi; tidak akan ada habisnya. Terjadinya tindakan korupsi bisa bermula dari sikap pembenaran diri. Perbuatan korup di kalangan atas bisa lahir dari sikap misalnya adanya penggunaan fasilitas jabatan yang dipunyai untuk kepentingan pribadi, atau dengan sengaja memperkaya diri dan berfoya-foya.

Sedangkan perbuatan korup yang mungkin terjadi di kalangan menengah ke bawah adalah kebiasaan mengurangi takaran atau timbangan, menerima fee sebagai tanda terimakasih, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan sepele itulah yang kemudian menjalar dan menyebabkan korupsi mendarah daging. Tidak ada cara lain untuk memberantas korupsi kalau tidak sadar diri akan bahaya dan dampak laten akibat korupsi.

Sumber : ( Ironi Korupsi di Perguruan Tinggi )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *