Category: Global

Kasus Suap APBD Malang, Giliran 11 Anggota DPRD Diperiksa KPK

Jakarta (VLF) – Pemeriksaan terhadap anggota DPRD Kota Malang oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut, Kamis (19/10/2017) di ruang pertemuan utama (Rupatama) Polres Malang Kota.

Kali ini, giliran 11 anggota dewan yang diperiksa. Yaitu Asia Iriani (PPP), Syamsul Fajrih (PPP) Suprapto (PDI P), Priyatmoko Oetomo (PDI P), Salamet (Gerindra) dan Hery Subiantono (Demokrat).

Selain itu juga ada Heri Pudji Utami (PPP), Arief Hermanto (PDI P), Hadi Susanto (PDI P), Tutuk Hariyani (PDI P) dan Teguh Mulyono (PDI P).

Mereka diperiksa sebagai saksi atas mantan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono yang menjadi tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.

“Diperiksa seputar proses penganggaran. Peristiwa – peristiwa yang berkaitan dengan itu,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Priharsa Nugraha kepada Kompas.com.

Sementara itu, proses pemeriksaan hingga saat ini masih berlangsung. Para terperiksa masih berada di dalam ruang pemeriksaan dan hanya keluar untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur.

Arief Hermanto, salah satu terperiksa mengatakan, pihaknya masih ditanya soal identitas pribadi, belum masuk ke materi pemeriksaan.

“Ditanya soal identitas saya saja,” katanya saat jeda pemeriksaan untuk shalat dzuhur.

Hal yang sama disampaikan oleh Heri Pudji Utami. Ia mengatakan, pertanyaan oleh penyidik belum masuk ke materi pemeriksaan.

“Belum, masih ngisi biodata. Belum masuk ke materi pemeriksaan,” katanya.

Sebelumnya, pada Rabu (18/10/2017), sembilan anggota DPRD Kota Malang lainnya juga diperiksaan. Yakni Ribut Harianto (Golkar), Subur Triono (PAN), Zainudin (PKB), Wiwik Hendri Astuti (Demokrat), Rahayu Sugiharti (Golkar), Sukarno (Golkar), Sahrawi (PKB), Mohan Katelu (PAN) dan Abd Hakim (PDI Perjuangan).

Dengan begitu, sudah ada 20 anggota DPRD Kota Malang yang diperiksa KPK. Status pemeriksaannya sama, yakni sebagai saksi atas Moch Arief Wicaksono.

Diketahui, Arief Wicaksono menjadi tersangka utama dalam kasus suap pembahasan APBD dan APBD Perubahan yang terjadi pada tahun 2015 di Kota Malang.

Arief disangka menerima suap sebesar Rp 700 juta dari Jarot Edy Sulistyono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang.

Suap sebanyak itu disebut terkait pembahasan APBD Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Jarot sudah ditetapkan tersangka sebagai pemberi suap.

Selain itu, Arief juga disangka menerima suap dari Komisaris PT ENK, Hendarwan Maruszaman sebesar Rp 250 juta. Suap itu diduga terkait penganggaran kembali proyek pembangunan Jembatan Kendung Kandang dalam APBD Kota Malang Tahun Anggaran 2016 pada 2015.

Nilai proyek pembangunan jembatan tersebut yakni Rp 98 miliar, yang dikerjakan secara multiyears tahun 2016 sampai 2018. Hendarwan juga sudah ditetapkan tersangka sebagai pemberi suap.

( Sumber : Kasus Suap APBD Malang, Giliran 11 Anggota DPRD Diperiksa KPK )

Novanto Perintahkan Fraksi Golkar di DPR Dukung Perppu Ormas

Jakarta (VLF) – Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto memerintahkan fraksinya di DPR untuk mendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas (Perppu Ormas) yang saat ini tengah dibahas.

Hal tersebut disampaikan Novanto saat membuka seminar nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tema “Revitalisasi Ideologi Pancasila Sebagai Landasan Perjuangan Partai Golkar” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (19/10/2017).

“Saya tegaskan dan perintahkan Fraksi Golkar untuk mendukung Perppu Ormas. Perppu ini merupakan langkah yang tepat dalam rangka menerapkan langkah preventif menjaga Pancasila dari ormas-ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan ingin ganti Pancasila dengan ideologi lainnya,” ujar Novanto.

Novanto menuturkan, bagi Golkar, Pancasila sebagai ideologi negara merupakan ideologi final yang harus dipertahankan.

Pancasila, lanjut Novanto, merupakan dasar negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di Indonesia.

“Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan agama lainnya. Bahkan nilai-nilai Pancasila menyesuaikan dengan ajaran luhur yang diajarkan semua agama,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Novanto menegaskan bahwa pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam mempertahankan Pancasila melalui penerbitan Perppu Ormas.

“Bagi siapapun yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara, maka dia akan berhadapan langsung dengan Partai Golkar. Entah ideologi komunisme, kapitalisme, atau ideologi berdasarkan agama-agama tertentu,” tuturnya.

“Kami akan berada di baris paling depan berhadapan dengan pihak-pihak tersebut,” tambah Novanto.

Dalam acara tersebut sejumlah petinggi partai dan senior politisi Golkar antara lain BJ Habibie, Agung Laksono, Mahyudin, Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung.

Komisi II DPR tengah membahas Perppu Ormas dengan meminta pandangan berbagai pihak. Nantinya, DPR akan memutuskan apakah menerima atau tidak Perppu Ormas.

Mahkamah Konstitusi juga sedang melakukan uji materi terhadap Perppu Ormas.

Perppu tersebut memungkinkan pemerintah mencabut badan hukum ormas tanpa melalui proses pengadilan. ( Sumber : Novanto Perintahkan Fraksi Golkar di DPR Dukung Perppu Ormas )

Lucunya Anggota Dewan Menyalahkan KPK karena Banyak Korupsi di DPR…

Jakarta (VLF) – Sikap anggota DPR yang mempertanyakan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah agar anggota Dewan tidak korupsi, dianggap sesuatu hal yang lucu.

Apalagi, pertanyaan itu muncul di tengah banyaknya upaya DPR untuk memperlemah KPK.

“Tampak benar itu memperlihatkan sederhananya cara berpikir DPR. Selain sederhana, juga lucu dan aneh,” ujar peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Kompas.com, Selasa (17/10/2017).

Menurut Lucius, pertanyaan itu menunjukkan pengakuan dari DPR bahwa DPR tidak pernah kapok melakukan korupsi.

Estafet korupsi itu terjadi bukan karena DPR tak paham aturan, tetapi karena mereka paham aturan, bahkan mereka sebagai pembuat aturan.

“Mereka bahkan justru memanfaatkan celah aturan yang mereka buat sendiri. Lalu, seolah KPK lah yang gagal menghentikan korupsi yang terus terjadi di DPR,” kata Lucius.

Lucius menganggap, penilaian DPR yang menganggap KPK gagal menghentikan korupsi bukan sebuah penilaian yang obyektif.

Penilaian ini, menurut Lucius, hanya bagian dari upaya DPR untuk melemahkan dan membubarkan KPK.

Dalam bidang pencegahan, kata Lucius, KPK sudah berupaya untuk mengikuti rapat-rapat pembahasan anggaran.

KPK juga dengan berani dan rela menanggung risiko untuk mengusulkan kenaikan dana parpol untuk mengurangi potensi korupsi kader partai politik.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mengkritisi kinerja KPK yang telah 15 tahun berdiri. Menurut dia, KPK belum optimal memberantas korupsi.

Desmond mengatakan, hal itu terlihat dari semakin banyaknya politisi di DPR yang tersangkut kasus korupsi.

“DPR ini korup, gimana agar DPR tidak korup lagi? Gimana antibodi, sudah dilakukan tidak cocok agar DPR yang korup, tidak korup lagi. Jangan korupsi ini beranak pinak ke depan. Dari edukasi, saya sepakat. Tapi hari ini kelembagaan kita korup, apa yang dilakukan KPK?” kata Desmond, dalam rapat kerja bersama KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Ia juga menanyakan kepada KPK, lembaga negara mana yang saat ini tak lagi korupsi sejak ada KPK.

Politisi Gerindra itu menilai, KPK tak mampu mencegah pejabat negara baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menghindari korupsi.

Dengan kondisi ini, KPK dianggapnya belum optimal membuat jera para pejabat negara yang masih melakukan korupsi.

“Kalau yang korup tak ada (diberi) antibodi dari KPK, publik berharap DPR yang korup ke depan tidak korup. Ada efek jera yang tidak maksimal, ada persoalan yang tidak maksimal,” lanjut Desmond.

( Sumber : Lucunya Anggota Dewan Menyalahkan KPK karena Banyak Korupsi di DPR…)

Auditor BPK Rochmadi Saptogiri Beli Mobil untuk Samarkan Uang Korupsi

Jakarta (VLF) – Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rochmadi Saptogiri, diduga berupaya menyamarkan uang yang diperoleh dari hasil korupsi.

Salah satunya dengan membeli satu unit mobil Honda Odyssey.

Hal itu terungkap dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/10/2017).

“Padahal terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa mobil dimaksud merupakan hasil tindak pidana korupsi,” ujar Jaksa KPK Zainal Abidin saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor.

Awalnya, pada April 2017, Rochmadi meminta dibelikan mobil Honda Odyssey kepada Ali Sadli, bawahannya yang menjabat sebagai Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK.

Atas permintaan tersebut, Ali Sadli membeli satu unit Honda Odyssey seharga Rp 700 juta di dealer mobil di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Namun, Rochmadi meminta agar pembelian mobil itu tidak menggunakan namanya.

Rochmadi memberikan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Andhika Aryanto.

Pada 26 April 2017, Ali Sadli membeli mobil Honda Odyssey RC 17 CVT Prestige, white orchid pearl, atas nama Andhika Aryanto.

Ali melakukan pembayaran secara bertahap sebanyak enam kali.

Pada 20 Mei 2017, mobil tersebut diantarkan ke kediaman Ali Sadli di Bintaro. Selanjutnya, mobil diantar ke kediaman Rochmadi .

Kemudian, enam hari setelah mobil diterima, Rochmadi ditangkap oleh petugas KPK.

Atas perintah Rochmadi, mobil tersebut dibawa dan disimpan di dealer mobil yang berada di Sunter, Jakarta Utara.

Menurut jaksa, Rochmadi mengetahui bahwa uang pembelian mobil tersebut berasal dari korupsi.

Sebab, uang Rp 700 juta tersebut menyimpang dari profil penghasilan Ali Sadli sejak 2014 sampai 2017.

Atas perbuatan tersebut, Rochmadi didakwa melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. ( Sumber : Auditor BPK Rochmadi Saptogiri Beli Mobil untuk Samarkan Uang Korupsi )

Mantan Hakim MK: Hakim Cepi Langgar Hukum Acara di Praperadilan Novanto

Jakarta (VLF) – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan menilai, hakim Cepi Iskandar telah melanggar mekanisme hukum acara pidana saat sidang praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Saat sidang praperadilan, hakim Cepi menolak permohonan Biro Hukum KPK untuk memutar rekaman yang menjadi landasan penetapan Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

“Dia tidak patuh pada hukum acara. Hakim tidak boleh menolak bukti dari para pihak. Orang mau dihukum mati aja harus didengar pendapatnya,” ujar Maruarar dalam diskusi Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) terkait praktik korupsi di lembaga peradilan, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2017).

Maruarar juga menilai alasan hakim Cepi menolak pemutaran rekaman tidak bisa dijadikan pembenaran.

Saat itu, hakim Cepi beralasan meski pembuktian penting, namun tetap harus ada perlindungan HAM.

Cepi tak masalah rekaman diputarkan jika tak ada nama-nama tertentu yang disebutkan di dalamnya.

Namun, ia tak setuju rekaman diputar jika ada nama-nama tertentu yang disebutkan.

Cepi meminta agar rekaman itu diserahkan saja kepadanya dalam bentuk digital. Nantinya, ia akan menilai apakah rekaman itu bisa dijadikan bukti atau tidak.

Karena hakim menolak, rekaman tersebut akhirnya tidak jadi diputarkan. KPK juga tidak jadi menyerahkan rekaman itu kepada hakim sebagai bukti.

Menurut Maruarar, Cepi seharusnya bisa mengabulkan permintaan KPK dan memutuskan sidang tersebut digelar tertutup.

“Itu sidang bisa tertutup. Kalau itu sudah dilakukan maka saya bisa bilang dia tidak melakukan pelanggaran,” kata Maruarar.

Hakim Cepi sebelumnya menerima sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Novanto. Dalam putusannya, penetapan tersangka Novanto oleh KPK dianggap tidak sah.

Dampaknya, KPK harus menghentikan penyidikan kasus Novanto terkait kasus e-KTP.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang di dalamnya terdapat Indonesia Corruption Watch (ICW), Madrasah Anti Korupsi (MAK) Muhammadiyah, dan Tangerang Public Transparancy Watch (Truth) melaporkan hakim Cepi ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung.

Para pelapor melihat sejumlah kejanggalan dalam sidang praperadilan tersebut.

Adapun KPK memastikan akan menerbitkan kembali surat perintah penyidikan yang baru untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka.( Sumber : Mantan Hakim MK: Hakim Cepi Langgar Hukum Acara di Praperadilan Novanto )

Jaksa Agung Setuju Pembentukan Densus Tipikor, asal…

Jakarta (VLF) – Jaksa Agung H.M. Prasetyo tak mempermasalahkan jika kejaksaan dilibatkan dalam Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) bentukan Polri.

Hanya, kata Prasetyo, mekanismenya harus mengacu pada payung hukum yang berlaku, yakni KUHAP.

Karena itu, ia sepakat jika kewenangan penuntutan tidak satu atap dengan penyelidikan dan penyidikan.

“Itu yang lebih baik. Itu mengacu pada hukum acara kan. Kalau opsi pertama (satu atap) kan dasarnya apa? Kan gitu,” kata Prasetyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Ia menekankan bahwa penanggung jawab perkara dalam persidangan ialah jaksa penuntut umum (JPU) sehingga tak bisa dipaksa untuk segera membawa berkas ke pengadilan.

Karena itu, lanjut Prasetyo, seorang jaksa tak bisa memaksakan agar perkara disidangkan jika memang belum lengkap.

Hal itu disampaikan Jaksa Agung untuk menjawab keluhan pihak Polri bahwa berkas perkara selama ini kerap bolak balik antara penyidik dan jaksa penuntut umum.

Ia mengatakan, jika sejak awal hasil penyidikan Densus Tipikor nantinya sudah lengkap, maka akan langsung diproses oleh Satuan Tugas Khusus Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (Satgasus P3TPK) bentukan kejaksaan.

“Ya jadi enggak usah dipaksakan harus cepat harus seperti itu. Kalau memang belum lengkap berkas perkaranya harus dikembalikan harus diperbaiki dong. Itu gunanya ada tahap prapenuntutan,” lanjut dia.

Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian sebelumnya menginginkan Densus Tipikor satu atap dengan jaksa seperti kerja KPK.

Hal itu untuk mempermudah proses penuntutan setelah Polri melakukan penyidikan.

Namun, sambung Tito, bisa pula Polri dan kejaksaan tak satu atap dalam Densus Tipikor.

Sehingga Polri melalui Densus Tipikor langsung berkoordinasi dengan satuan tugas (satgas) khusus yang dibentuk kejaksaan terkait penuntutan tipikor.

Bahkan, menurut Tito, bisa saja sejak proses penyelidikan Polri berkonsultasi dengan satgas dari kejaksaan.

Dengan demikian, proses pelimpahan berkas perkara akan lancar karena telah ada kesepahaman antara jaksa dan penyidik.

“Tujuannya agar tidak ada bolak-balik perkara karena perbedaan persepsi ketika berkasnya sudah selesai,” tutur Tito. ( Sumber :Jaksa Agung Setuju Pembentukan Densus Tipikor, asal… )

Menurut Gerindra, Kewenangan Densus Tipikor dan KPK Bakal Tumpang Tindih

Jakarta (VLF) – Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi ( Densus Tipikor) bentukan Polri berpotensi memunculkan masalah baru.

Menurut dia, kewenangan Densus Tipikor berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan KPK dan Polri dalam memberantas korupsi.

 Hal ini dikhawatirkan akan menjadi masalah baru.

“Jadi akhirnya anggaraan negara banyak dihabiskan untuk melakukan tindakan yang oleh lembaga lain sudah dilakukan. Koordinasi enggak ada. Tumpang tindih di lapangan akhirnya mennjadi suatu problem di masyarakat,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Apalagi, menurut Muzani, kewenangan KPK dalam melakukan seluruh fungsi pemberantasan korupsi telah diatur secara jelas dalam Undang-undang No 30 Tahun 2002.

Ia menyadari, Polri memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi, KPK merupakan intitusi utama dengan undang-undang yang bersifat lex spesialis.

Oleh karena itu, Muzani berpendapat, jangan sampai tumpang tindih kewenangan ini akan berimbas pada terlantarnya penyelesaian kasus besar.

“Kalau lahan yang sama diperebutkan terus pasti nanti ujungnya juga ada problem baru. Dan itu tak boleh kita anggap remeh. Kalau muncul, yang terjadi nanti ada lembaga yang secara undang-undang dengan sendirinya lemah,” lanjut dia.

Wapres tak sepakat ada Densus Tipikor

Sementara itu, pada Selasa (17/10/2017) kemarin, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, Polri tidak perlu membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor).

Menurut dia, saat ini cukup memaksimalkan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.

“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata Kalla. ( Sumber : Menurut Gerindra, Kewenangan Densus Tipikor dan KPK Bakal Tumpang Tindih )

Fahri Hamzah: Wapres Seenaknya Aja Ngomong Tak Perlu Densus Tipikor

Jakarta (VLF) – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla soal wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri.

Ia merasa, sikap Wapres itu berbeda dengan sikap Istana. Karena itu, ia menganggap perbedaan sikap eksekutif tersebut tidak profesional.

Apalagi, kata Fahri, Presiden Joko Widodo belum sekalipun memanggil Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk membicarakan Densus Tipikor.

“Saya enggak ngerti. Kayaknya Presiden dan Wapres punya kantor masing-masing dan ngomong masing-masing. Padahal seharusnya mereka itu kantornya cuma satu, Istana. Presidensialisme itu ya presiden, jangan ada yang lain,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10/2017).

Fahri menambahkan, semestinya pemerintah mengeluarkan pernyataan resmi terkait rencana pembentukan Densus Tipikor dengan didahului rapat kabinet bersama Kapolri dan Jaksa Agung.

Ia mengatakan, DPR melalui Komisi III serius memberi masukan kepada Polri untuk mengorganisasi ulang strukturnya agar bisa optimal dalam memberantas korupsi.

Karena itu, ia meminta pemerintah menyikapinya dengan serius.

Sebab, lanjut dia, tugas utama pemberantasan korupsi ada di lembaga penegak hukum inti, seperti Polri dan kejaksaan.

“Kita mikirnya siang malem rapat sampe subuh, Presiden dan orangnya nanggepin kayak omongan pinggir jalan aja. Enggak profesional gitu lho. Enggak paham kita bahwa kita itu mikirnya serius. Dia (JK) seenaknya aja ngomong,” lanjut politisi yang dipecat PKS itu.

Wapres Jusuf Kalla sebelumnya menilai, Polri tidak perlu membentuk Densus Tipikor.

Menurut dia, saat ini cukup memaksimalkan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.

“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata Wapres di kantornya di Jakarta, Selasa (17/10/2017), seperti dikutip Antara.

Wapres mengatakan, dalam pemberantasan korupsi perlu hati-hati dan jangan sampai isu tersebut menakutkan para pejabat untuk membuat kebijakan.

Menurut Wapres, salah satu yang memperlambat proses pembangunan disamping proses birokrasi yang panjang juga ketakutan pengambilan keputusan.

Ia menambahkan, pemberantasan korupsi jangan hanya menyapu dan basmi sehingga memunculkan ketakutan dan tidak bisa membangun, selain juga harus menjaga objektivitas.

Polri tengah membentuk Densus Tipikor. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, butuh anggaran sekitar Rp 2,6 triliun untuk membentuk Densus Tipikor.

Tito merinci, anggaran tersebut termasuk untuk belanja pegawai 3.560 personel sekitar Rp 786 miliar, belanja barang sekitar Rp 359 miliar dan belanja modal Rp 1,55 triliun.

Nantinya Densus Tipikor akan dipimpin seorang bintang dua dan akan dibentuk satgas tipikor kewilayahan.

Satgas tipikor tersebut akan dibagi tiga tipe, yakni tipe A (enam satgas), tipe B (14 satgas) dan tipe C (13 satgas).

Kapolri akan memaparkan rencana tersebut kepada Presiden Joko Widodo. ( Sumber :Fahri Hamzah: Wapres Seenaknya Aja Ngomong Tak Perlu Densus Tipikor )

DPR Absen Saat Rekaman Video Rapat dengan KPK Diputar di MK

Jakarta (VLF) – Sidang uji materii terkait hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (11/10/2017), mengagendakan mendengar/memperlihatkan alat bukti berupa rekaman video rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III dan KPK.

Sidang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Sedianya, sidang ini dihadiri para pihak, yakni Pemohon, pihak terkait, serta pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah.

Namun, sejak sidang dimulai pada pukul 11.00 WIB, anggota Komisi III yang biasanya menjadi perwakilan DPR tidak terlihat di ruang sidang.

“Dari DPR belum hadir, belum ada surat pemberitahuan (ketidakhadiran) juga,” kata Ketua MK, Arief Hidayat, saat membuka sidang.

Perwakilan DPR sedianya menempati kursi yang ada di sayap kanan ruang sidang atau sisi Utara Gedung MK. Tepatnya, kursi untuk anggota DPR itu sejajar dengan kursi perwakilan dari pemerintah.

Hingga sekitar satu jam persidangan berlangsung, perwakilan DPR tak kunjung terlihat.

Secara terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, yang biasa mewakili DPR, mengaku tidak bisa hadir di persidangan karena tengah mengikuti rapat kerja dengan Jaksa Agung, M Prasetyo.

Menurut dia, DPR telah mengutus Badan Keahlian Dewan (BKD) untuk mewakili pada persidangan hari ini.

“Saya tidak bisa karena ada Raker dengan Jaksa Agung,” kata Arsul melalui pesan singkatnya, Rabu.

Dalam sidang kali ini, pemohon mengajukan alat bukti berupa beberapa potongan video ketika rapat antara DPR dan KPK digelar beberapa waktu lalu.

Salah satu poin yang disoroti yakni desakan untuk membuka rekaman Miryam S Haryani.

Durasi video sekitar satu jam tiga puluh menit. Meskipun yang diputar dalam sidang hanya beberapa potongan video, namun pemohon juga akan menyertakan video serta transkrip utuh kepada Mahkamah.

Adapun, tujuan pemutaran video untuk menjelaskan kepada hakim konstitusi bahwa dalam rapat tersebut DPR telah mengancam menggunakan kewenangannya terhadap KPK, dalam hal ini kewenangan hak angket.

“(Di salah satu rekaman, -red) Di menit 16 sampai dengan selesai, menjelaskan ancaman anggota dewan untuk menggunakan hak angket dan lain-lain dalam upaya meminta rekaman miryam S Haryani,” kata salah seorang pemohon kepada ketua MK, Arief Hidayat, di persidangan.

Permohonan pengujian materiil terkait hak angket diajukan oleh sejumlah pihak di antaranya, permohonan nomor perkara 40/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh beberapa pegawai KPK.

Kemudian, permohonan nomor perkara 47/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK.

Selain itu, pemohon dengan nomor perkara 36/PUU-XV/2017, yakni gabungan mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum yang menamakan dirinya sebagai Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, serta pemohon dengan nomor perkara 37/PUU-XV/2017, yakni Direktur Eksekutif Lira Institute, Horas AM Naiborhu.

Secara umum, para pemohon mempersoalkan batas kewenangan hak angket DPR.

Menurut para pemohon, ketentuan hak angket yang tertuang dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya bisa ditujukan terhadap pemerintah, bukan KPK.

Sebab, KPK merupakan lembaga negara atau lembaga independen. Oleh karena itu, tidak bisa dikenakan hak angket. ( Sumber : DPR Absen Saat Rekaman Video Rapat dengan KPK Diputar di MK )

Besok, Setya Novanto Pimpin Rapat Pleno Golkar Bahas Pergantian Pengurus

Jakarta (VLF) – Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto djadwalkan memimpin Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Selasa (11/10/2017) malam. Hal itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Sarmuji.

“Kabarnya ketua umum yang akan mempimpin,” kata Sarmuji di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/10/2017).

Ia mengatakan, belum ada agenda resmi yang akan dibahas dalam Rapat Pleno besok. Namun, dimungkinkan rapat akan membahas revitalisasi kepengurusan DPP Golkar.

Sarmuji enggan menegaskan apakah revitalisasi kepengurusan juga terkait pencopotan Yorrys Raweyai dari jabatan Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Dalam surat yang beredar, posisi Yorrys digantikan oleh mantan Sekretris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Eko Wiratmoko.

“Jadi pertama pasti agendanya persiapan laporan panitia penyelenggara atas beberapa rapat yang dilakukan oleh panitia penyelenggara. Kedua kemungkinannya, kalau memang ketua umum datang, ya mungkin ketua umum menyampaikan perihal revitalisasi. Kemungkinan,” lanjut Sarmuji.

( Sumber :Besok, Setya Novanto Pimpin Rapat Pleno Golkar Bahas Pergantian Pengurus )