Jakarta (VLF) – Pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menyebut bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa berjalan tanpa ahli gizi menuai kekecewaan dan banyak komentar dari para netizen khususnya ahli gizi di Indonesia.
Template balasan cerita di instagram yang berisi “Pray For Ahli Gizi Indonesia” pun sudah diunggah 28,5 ribu kali.
Dalam sebuah forum diskusi di Acara Konsolidasi SPPG MBG se-Kabupaten Bandung, ia bahkan menyinggung kemungkinan “mengubah undang-undang” dan menegaskan bahwa anak SMA fresh graduate sekalipun bisa menjalankan tugas ahli gizi di SPPG setelah sertifikasi tiga bulan. Ucapannya memicu reaksi luas, bukan karena sensasional, tetapi karena menyentuh area yang berdampak langsung pada kesehatan jutaan anak Indonesia.
Program MBG bukan bisnis warung makan. Ini program nasional yang menyasar anak-anak dikelompok usia yang rentan, sedang bertumbuh, dan mudah terdampak oleh kesalahan intervensi gizi. Ketika ada pandangan yang meremehkan peran ahli gizi, publik perlu memahami apa yang sebenarnya dipertaruhkan.
MBG Bukan Program Makan Gratis, Tapi Intervensi Gizi Nasional
Tujuan MBG tertuang jelas dalam dokumen Keputusan Kepala Badan Gizi Nasional Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2025:
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
- Mewujudkan kesejahteraan umum.
- Mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan tujuan sebesar ini, MBG tidak bisa diperlakukan seperti sekadar “program mengenyangkan perut”. MBG adalah intervensi gizi yang dirancang untuk memperbaiki status gizi, mendukung tumbuh kembang, mempertahankan daya tahan tubuh, serta membentuk kapasitas belajar anak secara optimal.
Negara-negara maju yang sudah lama menerapkan program yang sama dengan MBG, seperti Jepang yang sudah lama memahami hal ini. Makanan sekolah bukan sekedar mengenyangkan saja, tapi sebagai bagian inti dari strategi pembangunan SDM. Tidak ada satupun dari mereka yang menjalankan program pangan sekolah tanpa melibatkan ahli gizi. Jepang menganggap keamanan pangan dan kualitas gizi anak sekolah adalah isu yang sangat serius.
Karena itu, wajar publik mempertanyakan ketika ada pejabat yang menyatakan bahwa ahli gizi “tidak diperlukan”.
Gizi punya efek jangka pendek dan jangka panjang. Kekurangan energi pada jam belajar membuat konsentrasi kabur. Asupan protein yang tidak sesuai memengaruhi perkembangan massa otot, kecerdasan, hingga imunitas. Rasio makronutrien yang timpang bisa membuat anak mudah cemas, sulit fokus, dan lesu. Di sisi lain, menu yang terlalu padat energi tetapi miskin zat gizi dapat mendorong kenaikan berat badan yang tidak sehat. Semuanya saling berkait, dan semuanya menuntut kompetensi profesional.
Karena itu, ketika tujuan nasional menargetkan kualitas manusia, maka yang harus dikendalikan bukan sekadar keberadaan makanan di atas piring. Yang harus dikendalikan adalah mutu gizi, keamanan pangan, kecukupan asupan, standar porsi, dan risiko klinis. Di titik inilah peran ahli gizi menjadi krusial.
Dikasih Pelatihan 3 Bulan, SMA Fresh Graduate Bisa Jadi Ahli Gizi?
“Nanti tinggal Ibu Kadinkes melatih orang, bila perlu di sini (kabupaten) punya anak-anak yang fresh graduate, anak SMA cerdas-cerdas, dilatih tiga bulan, kasih sertifikasi, saya siapkan BNSP untuk sertifikasi, tidak perlu seperti kalian yang sombong seperti ini,” ucap Cucun.
Tanggung jawab utama ahli gizi yang dicari MBG:
- Pengembangan Menu: Merancang dan mengembangkan menu untuk menciptakan hidangan yang lezat dan bergizi seimbang.
- Labelisasi Nutrisi: Melakukan perhitungan dan penyusunan label nutrisi untuk produk makanan.
- Konsultasi Gizi: Memberikan konsultasi atau informasi gizi kepada pihak terkait (internal/eksternal)
- Pelatihan & Edukasi: Melaksanakan pelatihan dan edukasi mengenai prinsip-prinsip dasar gizi dan penanganan makanan yang aman (Food Safety).
- Pengawasan Kualitas (Quality Control): Bertanggung jawab atas pengawasan kualitas makanan yang diproduksi secara keseluruhan.
- Kepatuhan Peraturan: Memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan peraturan terkait labelisasi nutrisi dan aspek kesehatan pangan.
- Monitoring & Evaluasi: Melakukan monitoring dan evaluasi kinerja karyawan, khususnya pada bagian persiapan, pengolahan, dan pemorsian makanan.
- Quality Control Pangan: Melakukan kontrol kualitas akhir (QC) terhadap makanan yang telah diproduksi
- Pengawasan Sampel Makanan: Bertanggung jawab dalam pengawasan dan pencatatan sampel makanan yang diproduksi setiap hari.
Semua itu tidak dapat digantikan oleh siapapun dengan pelatihan singkat. Hal tersebut bukanlah tugas yang dapat ditangani dengan sepele tanpa kompetensi formal dan profesional hanya karena dianggap mengganggu jalannya program.
Ahli Gizi merupakan profesi yang membutuhkan kompetensi dan pendidikan khusus, sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023, sama seperti Dokter, Apoteker, Psikolog, dan Tenaga kesehatan lainnya. Ahli gizi tidak diartikan sekedar jabatan atau pekerjaan yang bisa diklaim siapa saja karena punya standar kompetensi, kode etik, dan regulasi profesi yang telah diakui dalam sistem kesehatan nasional. Ahli gizi memiliki standar profesi, tanggung jawab, dan peran fundamental dalam kesehatan masyarakat Indonesia.
Kenapa Ucapan “Tidak Perlu Ahli Gizi” Berbahaya?
Ucapan tersebut berbahaya bukan hanya karena meremehkan profesi, tetapi karena:
1. Menghilangkan kontrol ilmiah terhadap program skala nasional
MBG akan diberikan kepada jutaan anak setiap hari. Tanpa kontrol gizi, menu bisa tidak seimbang, porsi terlalu sedikit atau terlalu besar, dan kandungan mikronutrien penting seperti zat besi atau zinc bisa tidak terpenuhi.
2. Memicu risiko klinis pada kelompok rentan
Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terdampak. Dampaknya bisa berupa:
- Tumbuh kembang terhambat. Menu tanpa perhitungan protein bisa mengganggu perkembangan otak dan otot.
- Obesitas dini. Energi yang terlalu tinggi tanpa proporsi serat dan mikronutrien bisa menaikkan berat badan secara cepat.
- Porsi yang tidak sesuai. Anak usia 7 tahun berbeda kebutuhan gizinya dengan anak usia 17 tahun.
- Alergi yang tidak terpantau. Anak dengan alergi susu, kacang, atau intoleransi laktosa butuh pemantauan khusus.
- Keracunan makanan. Kontaminasi bakteri yang sering muncul ketika penyelenggaraan makanan yang besar tidak diawasi standar higiennya.
Anak adalah kelompok dengan risiko klinis tinggi. Kesalahan perhitungan gizi hari ini bisa terlihat efeknya bertahun-tahun ke depan. Karena itu, ketika ada wacana menepikan ahli gizi, pertanyaannya sederhana: apakah negara siap menanggung konsekuensinya?
3. Mendorong kebijakan tanpa dasar ilmiah
Lebih berbahaya lagi ketika muncul wacana perubahan undang-undang yang hanya perlu ketokan palu “kita tidak perlu ahli gizi, tidak perlu PERSAGI, yang diperlukan adalah satu tenaga yang mengawasi gizi”. Undang-undang dibuat berdasarkan standar kesehatan dan disiplin ilmu. Mengubahnya hanya agar program bisa berjalan tanpa profesional adalah langkah mundur dalam perlindungan masa depan bangsa.
4. Membuka peluang pemborosan anggaran negara
Komposisi menu yang salah dapat membuat anak tetap kekurangan nutrisi meskipun negara sudah mengeluarkan biaya besar. Program akan berjalan, tetapi manfaat tidak tercapai. Akhirnya uang habis, tapi kualitas SDM tidak berubah.
Alasan Kelangkaan Ahli Gizi SPPG
Dalam diskusi publik baru-baru ini, Ketua Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa Satuan Penanganan Program Gizi (SPPG) mengalami kesulitan dalam mencari ahli gizi.
Namun, anggapan ini patut dikritisi: kenyataannya, lulusan gizi di Indonesia sangat banyak. Menurut liputan media, ada 131 kampus yang menyelenggarakan program sarjana gizi, 41 kampus vokasi gizi, serta 12 kampus penyelenggara profesi dietisien. Jumlah lulusan gizi tahun 2024 berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 34.553 orang.
Dengan basis lulusan gizi yang besar, klaim “ahli gizi langka” untuk SPPG seharusnya tidak hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga dari kualitas penempatan dan beban kerja. Banyak ahli gizi yang bekerja di SPPG mengeluhkan:
- Beban kerja overwork dan overtime. Tiap SPPG hanya ada satu ahli gizi yang ditugaskan menanggung jawabi ribuan porsi di banyak wilayah atau sekolah, lembur untuk merancang menu, melakukan pemantauan gizi, dan laporan rutin.
- Peran hanya sebagai “syarat formalitas”. Beberapa mitra pelaksana program hanya melihat keberadaan ahli gizi sebagai persyaratan birokrasi, bukan sebagai mitra strategis dalam merancang menu dan pengaturan gizi yang benar-benar sesuai standar. Akibatnya, ahli gizi sulit menjalankan fungsinya secara penuh, seperti menyesuaikan menu gizi berdasarkan data status gizi anak, tanpa intervensi mitra yang kurang memahami aspek ilmiah nutrisi.
- Hak gaji ahli gizi tidak diberikan tepat waktu. Banyak ahli gizi yang mengeluhkan bahwa gaji tidak diberikan tepat waktu dan seringkali di rapel.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa masalahnya bukan “kelangkaan ahli gizi”, melainkan sistem penempatan dan pemanfaatan ahli gizi dalam SPPG yang belum optimal.
Solusi dan Evaluasi Kebijakan
Untuk memperbaiki kondisi ini, berikut rekomendasi yang seharusnya menjadi bagian dari evaluasi program MBG dan SPPG:
1. Tambahkan jumlah ahli gizi di setiap SPPG + sistem shifting
Dengan menambah tenaga ahli gizi per SPPG dan menerapkan sistem kerja bergantian (shifting), beban kerja bisa didistribusikan lebih seimbang. Ahli gizi tidak lagi terbebani lembur terus-menerus dan bisa fokus melakukan fungsi inti seperti perencanaan gizi, pemantauan status gizi anak, dan evaluasi menu.
2. Berikan wewenang penuh kepada ahli gizi dalam menyusun menu
Ahli gizi harus diberi otoritas untuk merancang menu MBG sesuai standar gizi tanpa intervensi yang merusak dari mitra non-gizi. Mereka perlu menjadi pengambil keputusan dalam komposisi menu (karbohidrat, protein, mikronutrien), porsi, frekuensi, dan penyesuaian jika status gizi anak berubah. Dengan ini, program tidak hanya “sekedar kenyang”, tetapi benar-benar intervensi gizi yang berbasis data dan ilmu.
3. Evaluasi reguler dan profesionalisasi peran gizi di SPPG
Pemerintah dan BGN harus mengevaluasi struktur kerja SPPG secara berkala: apakah rasio ahli gizi terhadap sekolah memadai, apakah tugas mereka terfokus sebagai penyedia menu saja atau juga sebagai pengawas kesehatan gizi, dan apakah mekanisme pelaporan dan akuntabilitas dijalankan dengan transparan. Evaluasi ini harus mendorong profesionalisasi ahli gizi sebagai mitra strategis, bukan pegawai “formalitas”.
4. Perbaiki sistem perekrutan dan distribusi lulusan gizi
Karena lulusan gizi banyak, pemerintah perlu membuat kebijakan penempatan yang lebih proaktif, misalnya via kerja sama dengan universitas atau Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), insentif bagi ahli gizi yang bekerja di SPPG di daerah, dan jalur karir yang jelas.
(Sumber:Kenapa Pernyataan ‘Tak Perlu Ahli Gizi’ Berbahaya?.)









