Jakarta (VLF) – Membaca perjalanan hidup Prabowo Subianto memberikan kita sebuah pembelajaran berharga bahwa apa yang ditakdirkan bagi seseorang akan tiba pada dirinya bila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, konsisten dan penuh dedikasi.
Kisah Prabowo seperti sebuah drama dari keterasingan, kebintangan, kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu dalam fragmen kehidupan.
Prabowo hari ini tepat berusia 74 tahun. Ia lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951 dari pasangan Soemitro Djojohadikusumo dan Dora Marie Sigar.
Ayahnya, Soemitro berasal dari keluarga bersuku Jawa yang merupakan seorang akademisi, teknokrat, ekonom terkemuka dan menteri di dua kepemimpinan di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Kakek dari Prabowo atau ayah dari Soemitro, Margono Djojohadikusumo merupakan pejuang kemerdekaan dan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada 29 April 1945 dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Pun Margono juga adalah seorang ekonom yang mendapat kepercayaan dari Presiden Sukarno untuk mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI) sebagai bank sentral di Indonesia pasca kemerdekaan.
Sementara dari garis keturunan ibu dari Prabowo, Dora Sigar adalah putri dari Philip F L Sigar, seorang tokoh Minahasa yang menjadi anggota Gemeenteraad atau setara anggota badan perwakilan rakyat di Manado Sulawesi Utara.
Lalu, kakek dari ibu Prabowo adalah Laurents A. Sigar di masa pemerintahan kolonial Belanda menjabat Majoor/Hukum Besar yang bertugas menangani masalah-masalah administrasi hukum dan pemerintahan di Manado.
Artinya jika merujuk pada silsilah keluarga dari Prabowo baik dari garis keturunan ayah maupun garis keturunan ibu, sejatinya ia berasal dari kalangan aristokrat dengan status golongan bangsawan dan keluarga terpandang.
Pasalnya selain menjadi generasi ketiga di keluarga dengan jabatan mentereng dalam sejarah pemerintahan nasional, Prabowo merupakan menantu dari Presiden Soeharto atas pernikahannya dengan Siti Hediati Hariyadi atau yang dikenal dengan Titik Soeharto.
Namun, di antara status mentereng nama besar keluarga. Perjalanan hidup Prabowo penuh dengan lika-liku. Masa anak anak dan remajanya banyak dihabiskan di luar negeri mulai dari; Negara Hongkong, Malaysia, Swiss hingga Singapura mengikuti ayahnya Soemitro yang di masa pemerintahan Orde Lama banyak berseberangan dengan Presiden Sukarno.
Kejatuhan rezim Soekarno tahun 1967 akhirnya membawanya pulang ke tanah air, dimana ayahnya saat itu lalu diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri Perdagangan.
Sekembalinya di Indonesia, menjelang usianya beranjak dewasa, Prabowo banyak bergaul dengan para aktivis pro-demokrasi. Salah satu di antaranya adalah Soe Hok Gie yang menjadi kawan berdebat dan berdiskusinya.
Meski usia Prabowo lebih muda 9 tahun dari Gie, keduanya bahkan sempat mendirikan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) pertama di Indonesia dengan nama LSM Pembangunan tahun 1968.
Meninggalnya Gie di Puncak Gunung Semeru pada pertengahan Desember 1969 membuat Prabowo patah hati. Ia sangat kehilangan sosok kakak dan sahabat yang sangat dihormatinya.
Itu juga yang menjadi alasan bagi Prabowo akhirnya memilih melanjutkan pendidikannya ke dunia militer, padahal saat itu ia telah diterima secara bersamaan menjadi mahasiswa baru pada dua universitas bergengsi di Amerika Serikat yaitu Colorado University dan George Washington University.
Pada tahun 1970, Prabowo akhirnya resmi menjadi taruna di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) di Magelang Jawa Tengah.
Pasca lulus dari Akabri tahu 1974, karir militer Prabowo sangat cemerlang. Ia adalah prajurit yang cerdas, berani dan disiplin. Pun pada Desember 1995, pada usia yang masih sangat muda yaitu 44 tahun.
Dua kali dirinya mendapatkan kenaikan pangkat, dari Kolonel ke Brigadir Jenderal (Bintang 1) dan beberapa hari kemudian dinaikkan kembali menjadi Mayor Jenderal (Bintang 2) menyesuaikan jabatan yang diamanahkan kepadanya sebagai Danjen Kopassus. Tiga tahun setelah menjabat Danjen Kopassus, pada Maret 1998, Prabowo kembali mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal (Bintang 3) dengan Panglima Kostrad di ABRI.
Bintangnya Meredup
Kejatuhan Presiden Soeharto sebagai dampak dari arus reformasi yang menyebabkan pelbagai demonstrasi dan kerusuhan pada bulan Mei 1998 menjadi fragmen baru kehidupan Prabowo.
Ia kemudian diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan ABRI saat bintangnya sedang bersinar karena dianggap sebagai sosok yang bertanggungjawab atas situasi nasional dari tahun 1997 sampai 1998.
Tidak ada protes dari Prabowo, alih-alih melawan keputusan pemberhentian terhadap dirinya. Yang ada hanyalah rasa pasrah dengan menerima stigma sebagai orang yang paling dipersalahkan atas semua tuduhan padanya. Tujuannya tentu saja untuk menjaga nama baik institusi yang telah membesarkannya yaitu ABRI.
Peristiwa itu sempat mengubur mimpinya, karena tidak ada prajurit muda di TNI yang bintangnya lebih bersinar daripada Prabowo yang selangkah lagi akan paripurna di TNI dengan menjadi Jenderal Bintang 4.
Selepas diberhentikan dari dinas ABRI, Prabowo sempat melipir sementara ke Negara Yordania. Ia menemui sahabatnya Abdullah II bin Al-Hussein (sekarang Raja Yordania) yang sebelumnya menjadi temannya mendapatkan pendidikan militer di Fort Benning Amerika Serikat.
Di Yordania, ia belajar bisnis dan membangun usaha. Akan tetapi, di antara perjuangannya bangkit kembali dari keterpurukan, ia justru mendapatkan kabar dari pemerintah bahwa perpanjangan dokumen passportnya ditolak yang membuatnya hampir mengalami statelles (tanpa kewarganegaraan).
Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) akhirnya mengutus Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Luhut Binsar Panjaitan dan suami Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, (alm) Taufik Kiemas untuk menjemputnya kembali ke Indonesia.
Berpolitik dan Kalah Berkali-kali
Setelah tiba di tanah air, Prabowo memperkuat modal ekonominya. Ia membangun pelbagai bisnis dari perusahaan kertas, pertambangan hingga perkebunan.
Sejalan dengan itu, ia juga bergabung dengan beberapa organisasi dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI) dan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).
Namanya mulai muncul kembali ke pelbagai pemberitaan dengan citra sebagai seorang pengusaha. Perlahan konstruksi sosialnya di publik mulai positif dengan aktivitas yang ia jalani sebagai masyarakat sipil. Dari situ, pada tahun 2003,
Prabowo kembali ke Partai Golkar dengan posisi jabatan sebagai Anggota Dewan Penasihat. Juga tak lama berselang, ia maju dalam konvensi Capres dari Partai Golkar untuk Pilpres 2004. Namun, ia kalah karena akhirnya Wiranto lah yang menjadi Capres Partai Golkar di Pilpres 2004.
Kekalahannya di konvensi Capres Partai Golkar menyadarkannya bahwa jika tetap bertahan ia akan sangat sulit mendapatkan kesempatan maju sebagai Capres. Pasalnya di Munas Golkar 2004, Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi ketua umum yang otomatis akan memberi ruang kesempatan lebih besar untuk maju kembali dari Partai Golkar di Pilpres 2009.
Pada 6 Februasi 2008, Prabowo akhirnya mendeklarasikan pendirian partai baru yaitu Partai Gerindra. Ia besarkan partai itu, ia rawat hingga menjadi salah satu partai yang terbesar yang kita kenal hari ini.
Pun sejak pertama kali menjadi peserta pemilu, Partai Gerindra mengalami pertumbuhan yang luar biasa dengan persentase suara dan perolehan kursi dari pemilu ke pemilu terus mengalami kenaikan yaitu 4,46 persen (26 kursi) di Pemilu 2009 kemudian 11,81% persen (73 kursi) di Pemilu 2014 lalu 12,57 persen (78 kursi) di Pemilu 2019 dan 13,22 persen (86 kursi) di Pemilu 2024.
Tidak hanya itu, pada 4 (empat) Pilpres terakhir bersama Partai Gerindra, Prabowo dari pemilu ke pemilu selalu hadir menjadi Capres atau Cawapres. Mulai dari menjadi Cawapres dari Megawati di Pilpres 2009 yang berakhir kekalahan kemudian kalah kembali di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Sang Pemersatu Bangsa
Kekalahan Prabowo di Pilpres 2019 menyebabkan pembelahan yang esktrim di masyarakat. Residu yang ditinggalkan sangat merusak yang mengakibatkan konflik di masyarakat akar rumput. Demi menjaga pesatuan dan kesatuan bangsa tetap utuh, Prabowo akhirnya memutuskan menerima pinangan Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju masa bakti 2019-2024.
Rekonsiliasi itu awalnya banyak mendapatkan cibiran dan penolakan. Namun, pilihan tetap diambil oleh Prabowo dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Termasuk ditinggalkan pemilihnya.
Kemudian, ketika bergabung di Kabinet Presiden Jokowi, secara perlahan ia memulihkan hubungannya dengan pelbagai tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya sempat beseberangan politik dengannya dari Wiranto (Partai Hanura), Surya Paloh (Partai Nasdem) hingga Megawati (PDI Perjuangan).
Sikap Prabowo itu kemudian mendapatkan atensi positif dari masyarakat. Selanjutnya pada Pilpres 2024, ia akhirnya memilih putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi wakilnya. Dan pasangan Prabowo-Gibran akhirnya terpilih menjadi Presidaen dan Wakil Presiden 2024.
Pasca terpilih menjadi presiden, sikap pemersatunya masih ia panggungkan. Ia merangkul pihak-pihak yang kalah di Pilpres dengan membangun komunikasi baik dengan parta-partai maupun dengan pasangan Capres yang kalah. Dan yang paling menyita perhatian publik adalah saat Prabowo mengeluarkan amnesti-abolisi untuk dua tokoh yaitu Hasto Kristiyanto (Sekjen PDI-P) dan Tom Lembong (Timses Anies-Muhaimin).
Tidak hanya itu saja, di masa pemerintahannya, ia juga berhubungan baik dan memberikan amanah jabatan di kabinetnya bagi sosok atau keluarga langsung dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang memberhentikan dirinya dari dinas ABRI tahun 1998 yaitu Djamari Chaniago yang saat ini menjabat Menko Polkam, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putera dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan hingga Taufik Hidayat yang merupakan menantu dari Agum Gumelar merupakan Wakil Menpora di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sifat Prabowo yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dengan merangkul semua tokoh dan elemen bangsa tentu menjadi sebuah kebaruan dalam kepemimpinan nasional. Sifat kepemimpinan dari seorang patriot bangsa yang mungkin belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah politik Indonesia.
(Sumber:74 Tahun Presiden Prabowo: Di Balik Upaya Merangkul Semua Pihak.)