Jakarta (VLF) Dalam perhelatan pemilihan umum (Pemilu), berbagai cara dilakukan tim sukses (timses) calon presiden (capres) maupun calon legislatif (caleg) untuk melakukan kampanye, salah satunya dengan menempelkan stiker. Penempelan stiker ini dilakukan di berbagai tempat contohnya di pinggir jalan, namun terkadang banyak juga yang menempelnya di rumah warga, seperti di pagar, tembok, jendela, atau pintu.
Menempel stiker caleg maupun capres di rumah warga terkadang membuat penghuni rumah tidak nyaman. Apalagi kalau pemasangannya tanpa izin terlebih dahulu.
Lantas, apakah boleh memasang stiker caleg di rumah?
Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengungkapkan, pemasangan alat peraga kampanye (APK) dilarang dipasang di rumah tanpa izin pemiliknya. Jika tetap dilakukan, kata Bagja, bisa dikenakan pidana.
“Pemasangan di rumah warga tidak boleh dipaksa, tidak boleh, yang namanya kampanye itu harus dilakukan sukarela oleh pemilih. Tidak boleh kemudian orang dipaksa memilih. Hati-hati, bisa dikena pidana itu,” tuturnya dikutip dari detikNews, Rabu (17/1/2024).
Sementara itu, dilansir dari situs NU Online, disebutkan bahwa dalam islam, rumah merupakan milik pribadi yang merupakan hak eksklusif pemiliknya. Maka dari itu, orang lain tidak berhak untuk mengintervensi pemanfaatan rumah tersebut karena bukan miliknya.
Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr asy-Syafi’i, dalam kitab Kifayatul Akhyar, halaman 238, mengatakan jika seseorang memanfaatkan milik orang lain tanpa izin, maka tindakan tersebut dinamakan sebagai ghasab (mengambil hak orang lain secara zhalim). Perbuatan ghasab merupakan tindakan kriminal dalam islam yang diharamkan.
ﻭﺣﺪﻩ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ ﻫﻮ اﻻﺳﺘﻴﻼء ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻝ اﻟﻐﻴﺮ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ اﻟﺘﻌﺪﻱ ﻛﺬا ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻭﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﻭﻟﻬﺬا ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﻫﻮ اﻻﺳﺘﻴﻼء ﻋﻠﻰ ﺣﻖ اﻟﻐﻴﺮ ﻋﺪﻭاﻧﺎ ﻋﺪﻝ ﻋﻦ ﻗﻮﻝ اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻣﺎﻝ اﻟﻐﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺣﻖ اﻟﻐﻴﺮ ﻷﻥ اﻟﺤﻖ ﻳﺸﻤﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﺑﻣﺎﻝ ﻛﺎﻟﻜﻠﺐ ﻭاﻟﺰﺑﻞ ﻭﺟﻠﺪ اﻟﻤﻴﺘﺔ ﻭاﻟﻤﻨﺎﻓﻊ ﻭاﻟﺤﻘﻮﻕ ﻛﺈﻗﺎﻣﺔ ﺷﺨﺺ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﻣﺒﺎﺡ ﻛﺎﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭاﻟﻤﺴﺠﺪ
Artinya: “Pengertian ghasab dalam syariat Islam adalah menguasai harta orang lain secara sewenang-wenang. Demikianlah pendapat Imam ar-Rafi’i, namun pendapat ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi berpendapat bahwa ghasab adalah menguasai hak orang lain secara aniaya. Pengertian ini menggantikan pengertian yang dikemukakan oleh Imam ar-Rafi’i, yaitu “harta orang lain”, dengan “hak orang lain”. Hal ini dikarenakan hak mencakup hal-hal yang bukan harta, seperti anjing, kotoran, kulit bangkai, manfaat, dan hak-hak, seperti menghalangi seseorang dari tempat yang dibolehkan, seperti jalan dan masjid.”
Pengertian “secara aniaya” dimaksudkan untuk membedakan ghasab dengan tindakan mengambil harta orang lain dari orang kafir yang berperang melawan Islam, atau dari orang yang telah merampas harta orang lain secara sewenang-wenang. Dalam hal ini, tindakan mengambil harta tersebut tidak disebut ghasab, melainkan pengambilan harta secara sah.
Menurut Imam an-Nawawi, ghasab terjadi jika seseorang menguasai harta orang lain, baik berupa harta benda maupun manfaatnya, tanpa izin dari pemiliknya. Hal ini berlaku meskipun orang tersebut tidak berniat untuk menguasai harta tersebut. Hal itu karena tujuan ghasab adalah untuk memanfaatkan harta yang dirampas tersebut. [Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, [Beirut: Jami’ al- Huquq Mahfuzah, 2010], halaman 238.
Sementara itu, Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib, halaman 190, menyatakan hukum ghasab adalah haram dan pelakunya wajib mengembalikan harta yang di-ghasab kepada pemiliknya, meskipun ia harus membayar ganti rugi jika harta tersebut mengalami kerusakan atau berkurang nilainya.
(ومن غصب مالا لأحد لزمه ردُّه) لمالكه ولو غرِم على رده أضعافَ قيمته. (و) لزمه أيضا (أرش نقصه) إن نقص، كمن غصب ثوبا فلبسه أو نقص بغير لبس، (و) لزمه أيضا (أجرة مثله) . أما لو نقص المغصوب برخص سعره فلا يضمنه الغاصب على الصحيح.
Artinya: “Dan barangsiapa yang mengghashab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun atas pengembalian barang ghasaban orang yang ghashab itu terkena tanggungan ganti rugi dengan lipat ganda harganya. Dan wajib baginya (orang yang ghashab), untuk menambal kekurangannya, jika terdapat kekurangan pada harta yang dighashab, seperti orang yang mengghashab pakaian, kemudian ia memakainya atau baju itu berkurang, bukan karena dipakai. Juga wajib upah umum atas barang yang dighasab. Adapun bila barang yang dighashab itu berkurang sebab merosotnya/murahnya harga di pasaran (bukan karenpenggunaan), maka tidak wajib mengganti rugi menurut pendapat yang shahih.”
Dengan demikian dalam perspektif syariah Islam, tindakan timses dalam kontestasi politik yang memasang stiker calon legislatif (caleg) atau calon presiden (capres) di rumah seseorang tanpa izin dari pemilik rumah dianggap sebagai tindakan kriminal (ghasab). Selain itu, pemilik tanah memiliki hak untuk mencopot dan membongkar baliho tersebut tanpa harus menunggu persetujuan dari tim sukses terkait atau caleg terkait.
(Sumber : Tembok dan Kaca Rumah Ditempeli Stiker Kampanye, Begini Hukum dan Aturannya.)