MAKI Ajukan Praperadilan Kasus Pembelian Lahan Cengkareng Era Ahok

Jakarta (VLF) – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan praperadilan terkait tidak sahnya penghentian penyidikan kasus korupsi pembelian tanah Cengkareng. Praperadilan tersebut diajukan terhadap Kabareskrim hingga KPK.

Permohonan praperadilan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) hari ini, Senin (30/11/2020). MAKI mengajukan praperadilan terhadap Kabareskrim sebagai termohon I, Kapolda Metro Jaya sebagai termohon II, Kajati DKI Jakarta sebagai termohon III, dan Ketua KPK sebbagai termohon IV.

MAKI meminta agar PN Jaksel mengabulkan seluruh permohonan praperadilan yang diajukan. Selain itu, dia meminta hakim tunggal Yosdi yang memeriksa perkara ini meminta kepolisian melanjutkan perkara tersebut.

“Menyatakan secara hukum Termohon I, Termohon II, dan Termohon III telah melakukan tindakan penghentian penyidikan secara materiel dan diam-diam yang tidak sah menurut hukum, berupa tindakan tidak melanjutkan proses perkara aquo sesuai tahapan KUHAP berupa penetapan tersangka dan pelimpahan berkas perkara kepada Termohon III,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dalam berkas permohonannya, Senin (30/11/2020).

“Menyatakan secara hukum Termohon III telah turut serta melakukan tindakan penghentian penyidikan secara materiel dan diam-diam yang tidak sah menurut hukum,” ungkapnya.

Selain itu, dia meminta agar hakim memerintahkan Kabareskrim, Kapolda Metro Jaya, hingga Kajati DKI Jakarta melimpahkan berkas perkara dan barang bukti kepada KPK. Serta meminta hakim merintahkan agar KPK mengambil alih kasus tersebut.

“Memerintahkan Termohon IV untuk mengambil alih penyidikan dan selanjutnya menetapkan tersangka serta melimpahkannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya,” ujarnya.

Boyamin dalam berkas permohonannya menduga kasus tersebut telah dihentikan karena belum ada perkembangan kasusnya. Selain itu hingga saat ini, tidak terdapat tersangka dari penyidikan yang dilakukan Termohon I dan Termohon II

“Bahwa permohonan tidak sahnya penghentian penyidikan dalam permohonan aquo adalah permohonan pemeriksaan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil atau diam-diam atau tidak adanya kemajuan perkembangan penanganan perkara berdasar parameter obyektif atau perkara ditelantarkan atau aparat penegak hukum tidak menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip dasar Permohonan aquo adalah berdasar ketentuan Pasal 80 KUHAP,” kata Boyamin.

Selain itu, pemohon juga mendalilkan hingga permohonan praperadilan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Termohon II tidak menetapkan tersangka dan Termohon III pun tidak segera mengajukan berkas perkaranya untuk dilakukan penuntutan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

“Bahwa dengan berlarut-larutnya penanganan atas pokok perkara korupsi pembelian tanah Cengkareng, sudah seharusnya diambil alih oleh Termohon IV. Hal mana tidak juga dilakukan oleh Termohon IV,” kata Boyamin.

“Bahwa dengan demikian, secara materiil dan diam-diam, Para Termohon telah terbukti menghentikan penyidikan atas tindak pidana korupsi pembelian tanah di Cengkareng, Jakarta Barat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan termohon I dan termohon III melakukan penyidikan tersebut secara lamban. Ia menduga hal tersebut karena kasus tersebut terjadi di zaman mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

“Bahwa lambannya penyidikan yang dilakukan Termohon I dan Termohon III atas perkara tindak pidana korupsi aquo diduga kuat disebabkan karena melibatkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Ir Basuki Tjahja Purnama yang memberikan disposisi yang diartikan sebagai persetujuan pencairan anggaran,” ujarnya.

“Padahal sebagai pimpinan daerah tertinggi, seharusnya berhati-hati dalam mengeluarkan persetujuan pencairan uang negara dalam jumlah yang sangat besar. Jika Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak menerbitkan disposisi, maka terdapat dana APBD tersebut tidak akan dapat dicairkan,” imbuhnya.

Boyamin mengatakan sejak Termohon I mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI tanggal 29 Juni 2016 hingga permohonan praperadilan aquo diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penyidikan telah memakan waktu lebih dari 4 tahun. Seharusnya dalam jangka waktu 4 tahun tersebut, Termohon II telah menentukan siapa tersangkanya dan melakukan pemberkasan dan melanjutkan ke tahap berikutnya kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan, karena telah memenuhi unsur terpenuhinya bukti permulaan yang cukup bahkan telah terpenuhi minimal dua alat bukti berupa barang bukti, keterangan saksi-saksi dan dokumen-dokumen.

“Bahwa penanganan yang lama dan tidak kunjung selesai atas dugaan Tindak Pidana perkara aquo membuktikan bahwa Para Termohon melakukan tebang pilih atas penegakan hukum di Indonesia sebab perkara lain telah menjalani pemeriksaan dan telah melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU),” ujarnya.

“Bahwa dikarenakan Termohon I, Termohon II dan Termohon III telah menghentikan penyidikan perkara a quo secara tidak sah dan melawan hukum, maka Termohon I, Termohon II dan Termohon III harus dihukum untuk melanjutkan penyidikan atas laporan dalam perkara a quo berupa pelimpahan berkas perkara kepada Termohon IV untuk segera dilakukan penetapan tersangka dan penuntutan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” imbuhnya.

Diketahui, kasus pembelian lahan di Cengkareng, Jakbar ini bermula pada tahun tahun 2015, Pemprov DKI Jakarta melakukan pembelian lahan seluas 46 hektar yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp 668 miliar dengan dana yang bersumber dari dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta. Padahal tanah itu disebutkan milik Pemprov DKI, namun pembelian dilakukan Dinas Perumahan pada seseorang yang mengaku memiliki lahan itu.

Pembelian lahan itu mendapat sorotan dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI saat itu. Ahok menuding ada mafia dalam pembelian tanah itu. Ia meminta BPK melakukan audit.

BPK kemudian melakukan klarifikasi terkait pembelian lahan oleh Pemprov DKI untuk Rusun di Cengkareng Jakarta Barat. BPK menilai ada dugaan pembelian yang menyimpang dan berpotensi merugikan negara.

“Potensi ada di laporan itu. Yang harus dibuktikan, apakah benar ada pengadaan tanah Cengkareng itu menyimpang, tidak sesuai dengan ketentuan dan menimbulkan kerugian negara. Nah, tim akan mencari siapa yang melakukan apa dan seberapa besar kerugian itu,” jelas Kabiro Humas BPK Yudi Ramdan Budiman di kantornya di Jakarta, Senin 27 Juni 2016.

Kemudian, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menelusuri kasus pengadaan lahan di Cengkareng, Jakarta Barat. Penyidik menduga ada korupsi di pengadaan lahan di Cengkareng itu.

“Baru dugaan, diduga pada saat pengadaan tanah ada tindak pidana korupsi,” kata Brigjen Erwanto Kurniadi (sekarang sudah almarhum) saat menjabat sebagai Wadir Tindak Pidana Korupsi Bareskrim dihubungi detikcom, Sabtu 16 Juli 2016.

“Kita lagi telusuri apakah tindak pidana korupsinya itu mark up lahan, terus kemudian apakah ada gratifikasi juga yang terkait dengan panitia pengadaan yang menerima sejumlah uang yang dilaporkan ke KPK. Apakah itu sedesain dengan pengadaan lahannya,” sambungnya.

Sejumlah pihak pun dimintai keterangan oleh Bareskrim terkait kasus itu termasuk Ahok dan Wakilnya saat itu, Djarot Saiful Hidayat. Namun, kasus itu tidak terdengar lagi pengusutannya. Hingga akhirnya MAKI mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel.

( Sumber : MAKI Ajukan Praperadilan Kasus Pembelian Lahan Cengkareng Era Ahok )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *